Selain itu, dirinya yang bekerja sebagai guru bimbel juga ditempa dari segi kompetensi dan kecakapan mengajar. Alhasil, tidak hanya tak hanya mengajar siswa untuk berkompeten, melainkan dirinya juga ikut mengembangkan kemampuan berwirausaha.
Sayangnya, percakapan kami ini tidak berlanjut dengan manis karena sebagai imbas dari dihapuskannya UN kemarin, beberapa unit bimbel yang diasuh oleh lembaga terpaksa harus ditutup. Unit bimbel harus tutup karena tak bisa lagi "terselamatkan".
Anak-anak yang masih ikut bimbel adalah mereka yang masih terdaftar di semester kemarin, kira-kira beberapa bulan sebelum UN dihapus.
Itu lembaga bimbel berkelas, loh! Sedangkan lembaga bimbel yang masih merintis malah lebih parah lagi. Semisal, ada sebuah yayasan asuhanku bersama teman-teman yang bergerak di bidang pendidikan dan bimbel akhirnya vakum dalam waktu hampir satu tahun ini.
Alasan pertama, karena pandemi. Sedangkan sisanya, minat anak mulai berkurang seiring dengan ditiadakannya UN.
Termasuk juga kisah tentang adikku sebagaimana yang telah aku ceritakan di awal tadi. Bukan aku ingin memaksanya untuk ikut pengembangan diri dari segi bimbel, tapi, kalau dia sudah lihat bagaimana contoh soal AKM nanti, ku kira adikku akan sadar bahwa AKM itu susah, loh!
Meski kemudian baik AKM maupun Asesmen Nasional secara keseluruhan tidak akan berpengaruh apa-apa pada kelulusan siswa, ku kira, eksistensi lembaga bimbel di negeri ini sangat layak untuk tetap dipertahankan.
Saat ini, sejauh pandangku, belum ada "perkenalan" lebih lanjut tentang seluk-beluk Asesmen Nasional. Padahal, di akhir Maret 2021 nanti seluruh pelaku pendidikan di satuan pendidikan --tidak terkecuali kepala sekolah--akan mengikuti AKM.
Rasanya, pemerintah melalui Kemendikbud perlu lebih dini dalam melakukan sosialisasi tentang Asesmen Nasional kepada tiap-tiap satuan pendidikan.
Soalnya, sungguh masih banyak orang yang belum mengerti tentang apa itu AKM, Survei Karakter, serta Survei Lingkungan Belajar.
Salam.