Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama FEATURED

Hari Guru Sedunia, Mari Menduniakan "Mindset dan Heartset" Mengajar ala Nusantara

5 Oktober 2020   19:31 Diperbarui: 5 Oktober 2021   15:31 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Interaksi antara guru dan siswa. Salah satu kunci suksesnya seorang anak adalah berkat mindset dan heartset yang ditanamkan oleh guru saat mereka sekolah.| Dok. Ditjen GTK Kemdikbud via Kompas.com

World Teachers' Day (WTD) alias Hari Guru Sedunia diperingati setiap tanggal 5 Oktober. Tahun dimulainya peringatan ini adalah 1994, yang bertujuan memberikan dukungan kepada para guru di seluruh dunia bahwa keberlangsungan generasi pada masa depan berada di tangan mereka.

Pada dasarnya, peringatan WTD ini tidak sama waktunya dengan peringatan Hari Guru Nasional. Soalnya, HGN diperingati setiap tanggal 25 November. Jadi, tidak terlalu bermasalah kiranya jika di laman Kemendikbud maupun di instagram Mas Mendikbud Nadiem tidak ada postingan WTD.

Meski demikian, jadi kurang berkesan kiranya jika peringatan Hari Guru Sedunia tidak kita ambil refleksinya. Terang saja, baik UNESCO, ILO, UNICEF, serta berbagai organisasi pendidikan internasional lainnya mungkin cukup gelisah dengan ruwetnya tantangan pendidikan hari ini.

Tak terkecuali, juga di Indonesia.

Semenjak pandemi covid-19 hadir di Bumi Pertiwi, eksistensi pendidikan jadi pasang-surut. Semua guru harus beradaptasi dengan pola maupun sistem pembelajaran yang ada.

World Teachers' Day. Ilustrasi dari cem.org
World Teachers' Day. Ilustrasi dari cem.org

Dari kelas tatap muka menjadi tatap maya. Dari luring menjadi daring. Dari konvensional menuju digitalisasi.

Lantas, apakah ini berhasil? Terlalu dini bagi negeri untuk mengukur sebuah keberhasilan pendidikan. Malahan, dalam beberapa waktu di awal-awal datangnya pandemi, pendidikan di Indonesia maupun seluruh dunia seakan berjalan tanpa guru. Mengerikan!

Anak-anak di rumah jadi bosan. Selain itu, orang tua di rumah jadi uring-uringan melihat tingkah dan pola perilaku buah hati mereka yang berantakan. Gara-gara tidak sekolah, anak jadi malas bangun pagi, malas mandi, malas baca buku. Malahan, keasyikan rebahan mereka menjadi-jadi.

Beda halnya setelah sekolah kembali "dibuka" di tengah guncangan pandemi. Seiring diberlakukannya pembelajaran jarak jauh, perlahan anak-anak mulai mampu menata pola hidupnya.

Kegiatan rebahan mereka jadi sedikit berkurang karena ingat dengan tugas yang diberikan oleh guru. Ya, walaupun memang tidak se-efektif masa sebelum pandemi.

Bayangkan bila kemudian aktivitas sekolah benar-benar diliburkan gara-gara pandemi. Setahun penuh misalnya. Bagaimana nasib anak bangsa? Sedangkan tak bertemu guru SD seminggu saja, lidah mereka untuk membaca mulai kelu. Apalagi satu tahun!

Maka dari itulah, peran guru di negeri ini sangat penting, sangat krusial, dan tak bisa tergantikan.

Bahkan, salah seorang Profesor Kebijakan Pendidikan di Universitas New South Wales, Pasi Sahlberg sampai rela menulis artikel menggugah dengan judul "Lessons from the Pandemic: After the Virus: In Teachers We Trust". Berikut saya kutip sedikit gagasan beliau:

"Who are those who understand better than anybody what schools would need instead to improve teaching and learning for all children? The teachers."

" In other words, those who trust teachers tend to have brighter future."

Pasi Sahlberg menegaskan bahwa gurulah sosok yang lebih tahu tentang apa yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran untuk semua anak. Dan, mereka yang mempercayai guru cenderung memiliki masa depan yang cerah.

Lantas, sejauh apakah perhatian kita terhadap para guru di Nusantara?

  • Apakah kita sudah sering memotivasi, mendoakan, hingga mengapresiasi segala hal baik yang telah mereka lakukan untuk anak-anak kita?
  • Atau, malah kita yang sibuk menyalahkan guru karena lambatnya adaptasi mengajar di era pandemi, serta kurang maksimalnya kompetensi ajar?
  • Jangan-jangan, sebagian dari kita terlalu banyak mencela!

Padahal, salah satu kunci suksesnya seorang anak adalah berkat mindset dan heartset yang ditanamkan oleh guru saat mereka sekolah.

Saya juga punya kisah menggugah tentang "pola pikir" dan "pola hati" yang dituangkan guru lewat cara mengajarnya.

Dulu, sewaktu SMP saya adalah seorang pria yang pendiam, pemalu, serta kurang perhatian dengan masa depan. Tetapi, setelah bertemu dengan seorang guru Kesenian sewaktu SMA, hidup saya pun mulai berubah.

Saya diajak oleh beliau untuk membentuk ekstrakurikuler teater, dan ternyata mental saya benar-benar dirombak oleh sang guru. Saya yang dulunya ber-mindset acuh tak acuh akhirnya berubah menjadi sosok yang peduli dengan diri, bermental, mengedepankan adab, dan punya ambisi tinggi.

Rasanya, para pembaca sekalian, dulunya juga begitu, kan? Pasti ada mindset dan heartset hasil pengajaran guru yang mengubah hidup serta masa depan kita.

Mari Menduniakan "Mindset dan Heartset" Mengajar ala Nusantara

Saya selalu bangga diajarkan adab dan ilmu pengetahuan oleh guru saya. Begitu pula dengan Anda. Sedikit pandangan saya, yang menjadi nilai lebih dalam sistem pendidikan kita adalah keseriusan pembenahan karakter, menjunjung tinggi nasionalisme, serta kekayaan budaya lokal.

Nilai lebih ini adalah cita-cita pendidikan kita sebagaimana yang tertuang dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 3. Cita-cita pertama adalah membentuk manusia beriman dan bertakwa, dilanjutkan kepada akhlak mulia (karakter), kecakapan ilmu, hingga nasionalisme.

Singkatnya, seiras dengan 5 sila yang terdapat dalam Pancasila. Yang dikedepankan sekaligus diduniakan oleh sistem pendidikan kita adalah iman dan taqwanya terlebih dahulu. Mengapa demikian? Karena pendidikan tanpa agama akan buta alias abnormal, begitu pun sebaliknya.

Menguatkan karakter siswa dengan pola hati (heartset). Dok. Ozy V. Alandika
Menguatkan karakter siswa dengan pola hati (heartset). Dok. Ozy V. Alandika

Maka dari itu, sebagai refleksi dari peringatan Hari Guru Sedunia, salah satu hal penting yang bisa para guru wujudkan adalah, menduniakan mindset dan heartset mengajar ala Nusantara.

Lha, memangnya pola pikir dan pola hati mengajar para guru Nusantara begitu "wah"?

Tentu saja, dan selama ini, saya kira mindset dan heartset mengajar guru ala Nusantara-lah yang menghebatkan negara kita. Tapi, mindset dan heartset yang dimaksud adalah yang berkemajuan, ya!

Contoh sederhana, sebagian sekolah dasar dan menengah di negara kita yang berada di pelosok cukup "ketinggalan" dari segi fasilitas maupun akses pendidikan. Meski demikian, guru yang berada di sekolah selalu berusaha untuk menanamkan mindset bahwa sekolah pelosok juga bisa maju.

Lama-kelamaan, pola pikir positif yang diajarkan oleh guru ini akan tertanam dan menjadi dorongan internal bagi siswa untuk lebih peduli dengan masa depan mereka. Bukankah dorongan internal itu akan lebih bermakna? Tentu saja.

Contoh berikutnya. Karena ada beberapa siswa yang berprestasi dari sisi akademik, sebagian siswa lain kadang iri dengan pencapaian tersebut. Darinya, bisa jadi muncul perasaan jenuh, sedih, bahkan iri.

Nah, dengan hadirnya heartset mengajar guru yang lemah lembut, mengutamakan nilai adab dan sopan santun, siswa yang perasaannya sedang "plintat-plintut" tadi bisa tersentuh hatinya serta semakin naik nilai karakter positifnya.

Ketika dua pola (pikir dan hati) ini berjalan beriringan, maka semakin mudahlah bagi siswa untuk menjadi pribadi sebagaimana yang diharapkan oleh negeri ini. Berprofil Pancasila? Bisa! Cerdas secara akademik? Bisa.

"A good head and good heart are always a formidable combination." Nelson Mandela

Ups, satu lagi, yakni tentang kearifan budaya lokal. Bumi Pertiwi sungguh kaya dengan budaya. Baik dari aksaranya, seninya, pakaian dan rumah adatnya, tradisi serta adat-istiadatnya, suku, agama, hingga bahasanya sungguh beragam.

Tiap daerah punya ciri khas maupun keunikannya masing-masing dan  ciri khas inilah yang bisa kita kembang sekaligus kita duniakan. Menduniakan yang lokal, menduniakan budaya sebagai keunikan negara kita.

Rasanya, mindset ini sudah hadir di benak guru. namun, tinggal lagi bagaimana kebijakan pemerintah dapat mewadahinya.

Sejatinya, negeri ini boleh-boleh saja mengejar digitalisasi, berevolusi, serta bertransformasi demi bisa bersaing dengan pendidikan di dunia. Hanya saja, muatan lokal jangan ditinggalkan. Mindset dan Heartset mengajar, kita sudah punya. Tinggal lagi, bagaimana cara kita menduniakannya.

Terima kasih, Guru.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun