"Jujurlah sayang, aku tak mengapa. Biar semua, jelas tak berbeda. Jika nanti, aku yang harus pergi. Kuterima, walau sakit hati."
Bahkan, band Repvblik saja sempat mendakwahkan pentingnya sikap jujur kepada semesta.Â
Memang, perilaku jujur yang diutarakan band bergenre pop ini lebih concern pada "alam" kasih dan cinta. Tapi, tetap saja fakta bahwa perilaku jujur berlaku di berbagai elemen kehidupan ini tak bisa dipungkiri.
Terlebih lagi jika kita menatap era milenial seperti saat sekarang ini. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, nilai-nilai karakter pun mulai tergerogoti. Yang menggerogotinya bukan teknologi maupun media, tapi orangnya!
Lihat saja bagaimana gilanya konten-konten yang berseliweran di jagat maya. Semenjak merambahnya adegan "prank", nilai-nilai santun mulai memudar. Tidak sedikit orang yang merasa enggan untuk disalahkan, walaupun yang disampaikannya adalah dusta.
Fix! Ternyata kita memang sedang hidup di alam kedustaan. Padahal alam dunia sudah fatamorgana dan penuh keburaman, tapi kemudian ditambah lagi dengan percikan-percikan dusta. Ah, lengkap sudah tantangan hidup ini. Perjuangan mempertahankan akhlak mulia makin berasa.
Menebar Kejujuran di Alam Dusta Ibarat Menyiram Tanaman di Musim Kemarau
Jika boleh berumpama, aku punya anggapan bahwasannya menebar kejujuran di alam dusta sama dengan menyiram tanaman di musim kemarau. Mengapa demikian?
Ketika musim kemarau tiba, biasanya tanah mulai berganti jadi tandus sehingga tanaman begitu mudah haus. Andai kita siram tanaman tersebut, maka air yang tersiram segera merasap ke tanah dan beberapa jam kemudian tanah itu kembali kering.
Kiranya saat kita menebar kejujuran, keadaannya juga mirip-mirip seperti itu. Kita beritahu seseorang tentang kejujuran, mungkin saat itu mereka bisa terima dengan lapang dada. Tapi sayang! Apa yang kita sampaikan seringkali hanya berhenti di sebelah telinga, alias hanya lewat.
Bahkan, terkadang pula jujur itu seperti hal yang terlihat asing dan tak cukup mampu untuk dijadikan "dasar" kebenaran.
Misalnya, kita beritahu seseorang bahwa perilaku A itu tidak boleh karena bersandar kepada kedustaan. Tapi, seseorang tadi dengan mudahnya menyanggah. Alasannya?
"Ah, orang lain juga banyak kok yang ngelakuin itu!"
"Aman, kok. Toh, enggak bakal ketahuan!"
"Sesekali, enggak apa-apa, kan. Jangan terlalu alim jadi orang!"
"Tenang, bro!. Dikit aja bohongnya. Pasti diterima, kok!"
Hemm, agaknya alam kedustaan tempat kita bernaung hari ini benar-benar seperti musim kemarau panjang. Eksistensi akhlak mulia kian tandus, dan pergolakan perilaku dusta makin membahana layaknya butiran debu yang mengangkasa.
Ada kekhawatiran bahwa nanti di suatu hari orang baik akan semakin sedikit jumlahnya. Tapi, semoga saja kita tidak terpengaruh untuk rajin bohong, ya!
Jujur Adalah Kebaikan
Terang terdengar di telinga kita tentang kalam Nabi yang berbunyi: "Sesungguhnya kejujuran itu mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan mengantarkan kepada surga".
Kalam ini begitu masyhur, bahkan anak-anak kita yang masih SD pun telah menghafalnya. Oh iya, betewe, ini adalah alamat baik untuk generasi penerus, kan?
Tentu saja. Tapi, kalau kita semua mampu mengembangkan hafalan kalam Nabi tadi menjadi butir-butir perilaku yang mengarah kepada pembiasaan. Apakah bisa?
Harusnya, bisa, dong! Muaranya jujur kan adalah surga, sedangkan butiran perilaku jujur ibarat sungai-sungai yang mengalir menuju jannah. Siapa sih yang tak mau masuk surga? Semua mau, dan aku yakin malah suara anak-anak yang paling keras berteriak "mau!"
Entah itu sakit, entah itu pedih, tetap saja perilaku jujur adalah kebaikan. Tidak semua orang mampu tampil sempurna untuk selalu jujur, tapi kejujuran selalu sempurna untuk ditampilkan.
Kalau dusta, itu malah sebaliknya. Berperilaku dusta mungkin adalah cara yang sempurna untuk menutup kebenaran---bagi sebagian orang--- tapi sayang, suatu hari nanti, kebenaran itulah yang akan membongkar kedustaan.
Maka dari itulah, mau dilihat dari sisi manapun, perilaku jujur adalah kebaikan. Adalah hal yang mustahil bila kebaikan tak menghasilkan maslahat. Terlebih lagi jika diri ini mampu secara konsisten mempertahankan kebaikan, pasti hasilnya akan begitu "wah" di hari esok.
Buktinya?
Kita mungkin pernah mendengar kisah tentang kejujuran seorang gadis penjual susu di era Khalifah Umar bin Khattab.
Karena sang gadis jujur dan terus konsisten dengan kejujuran dalam berjualan, akhirnya Sayyidina Umar menikahkan anaknya dengan gadis tadi. Sungguh, ini salah satu kisah kejujuran yang berakhir dengan romantis. Semakin terang bahwasannya jujur adalah kebaikan.
Jujur Dimulai dari Diri Sendiri
Jujur adalah kebaikan, tapi mengapa masih banyak orang yang berdusta? Apakah karena setan tak pernah ikut program Keluarga Berencana (KB)?
Ujung-ujungnya, makhluk yang Allah tangguhkan ajalnya untuk menggoda manusia ini selalu tersalahkan. Tapi, enggak ada benarnya, sih!
Sejatinya, perilaku jujur itu sangat mudah diucapkan, sangat mudah disebut contoh-contoh perilakunya di dunia nyata, tapi cukup sulit bagi untuk konsisten mengimplementasikannya di alam yang penuh dusta.
Terang saja, buih-buih dusta yang bergelantungan hari ini mirip seperti sebuah sistem kebohongan. Kita tahu, kalau kedustaan sudah tersistem, maka komponen-komponen yang ada di bawahnya akan ikut melakukan dusta.
Komponen A berdusta, maka ia akan cari alasan bahwa komponen B, C, hingga Z juga demikian. Uh, miris sekali memang. Mencari pembenaran untuk sebuah kedustaan, ujung-ujungnya dusta makin meluas dan melebar.
Lagi-lagi memang susah, apalagi kalau kita terus membahas kedustaan orang lain. Maka dari itulah, baiknya perilaku jujur dimulai dari diri sendiri. Mulai dari tata niat, hadirkan di lisan, kemudian diaplikasikan di dunia nyata. Kita bisa ciptakan alam kejujuran dari diri sendiri, kan?
Tapi, tak cukup hanya dimulai saja. Kata orang, memulai itu sulit. Ternyata tidak! Yang sulit adalah membiasakan dan terus berdiri di atas sesuatu yang telah dimulai. Jadi, mulailah untuk jujur.
Tumbuhlah seperti pohon yang selalu meluaskan akarnya. Makin luas akar kejujuran, sebatang pohon akan mampu bertumbuh lebih tinggi dan kokoh, serta tak gentar tersapu oleh angin.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H