Jujur adalah kebaikan, tapi mengapa masih banyak orang yang berdusta? Apakah karena setan tak pernah ikut program Keluarga Berencana (KB)?
Ujung-ujungnya, makhluk yang Allah tangguhkan ajalnya untuk menggoda manusia ini selalu tersalahkan. Tapi, enggak ada benarnya, sih!
Sejatinya, perilaku jujur itu sangat mudah diucapkan, sangat mudah disebut contoh-contoh perilakunya di dunia nyata, tapi cukup sulit bagi untuk konsisten mengimplementasikannya di alam yang penuh dusta.
Terang saja, buih-buih dusta yang bergelantungan hari ini mirip seperti sebuah sistem kebohongan. Kita tahu, kalau kedustaan sudah tersistem, maka komponen-komponen yang ada di bawahnya akan ikut melakukan dusta.
Komponen A berdusta, maka ia akan cari alasan bahwa komponen B, C, hingga Z juga demikian. Uh, miris sekali memang. Mencari pembenaran untuk sebuah kedustaan, ujung-ujungnya dusta makin meluas dan melebar.
Lagi-lagi memang susah, apalagi kalau kita terus membahas kedustaan orang lain. Maka dari itulah, baiknya perilaku jujur dimulai dari diri sendiri. Mulai dari tata niat, hadirkan di lisan, kemudian diaplikasikan di dunia nyata. Kita bisa ciptakan alam kejujuran dari diri sendiri, kan?
Tapi, tak cukup hanya dimulai saja. Kata orang, memulai itu sulit. Ternyata tidak! Yang sulit adalah membiasakan dan terus berdiri di atas sesuatu yang telah dimulai. Jadi, mulailah untuk jujur.
Tumbuhlah seperti pohon yang selalu meluaskan akarnya. Makin luas akar kejujuran, sebatang pohon akan mampu bertumbuh lebih tinggi dan kokoh, serta tak gentar tersapu oleh angin.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H