"Ternyata, hidup itu memang menghasilkan beragam rasa, ya!"
Tidak melulu bisa ditebak, begitulah hidup dan jalan kehidupan. Ketika hidup ini mau kita ungkap dengan rasa, maka muncullah bermacam-macam rasa berikut dengan detail-detailnya.
Ada rasa senang, ada rasa sedih. Ada rasa suka, ada duka. Tapi, beragam perasaan itu tidak selalu sama antara orang yang satu dengan yang lainnya. Rasa itu mungkin sama, ketika orang-orang sudah memploklamirkan ungkapan "sama rasa."
Maka dari itulah muncul berbagai ungkapan tentang rasa seperti senang melihat orang bahagia, senang melihat orang susah, sedih melihat orang sedih, serta sedih melihat orang senang. Wajar, kan? Tentu saja, isi hati manusia siapa yang tahu! Kecuali? Hanya Tuhan semata.
Kemudian, seiring dengan bergantinya hari di kalender kehidupan, masing-masing dari kita mulai berpikir untuk menata hidup yang lebih baik. Berpijak dengan berbagai rasa tadi, ada dari kita yang semangat untuk bersekolah, semangat untuk bekerja, dan semangat untuk berbahagia.
Hanya saja, yang namanya semangat tidaklah seteguh dan sekuat itu. Pengaruh dari ungkapan rasa yang dilemparkan oleh orang-orang di sekitar kita adalah penyebabnya.
Karena kita tidak sendirian dalam hidup, kan? Begitulah. Semangat seringkali digerus oleh dua sikap yang datangnya dari myself maupun orang lain. Sikap pertama adalah pujian, dan sikap kedua adalah hinaan.
Kenyataannya, jika pujian maupun hinaan itu datangnya dari diri sendiri, mungkin hati ini tidak akan merespon secara berlebihan. Maklum, kitalah yang lebih tahu tentang diri kita sendiri, dan orang lain banyak yang sekadar "tebak-tebak" tentang seperti apa sesungguhnya diri ini.
Alhasil, sikap sekadar "tebak-tebak" rasa dari orang lain inilah yang kemudian bisa membahayakan kita. Lha, kok bahaya?
Tentu saja. Sudah berapa banyak orang-orang yang tergila-gila karena makan nasi berlaukkan pujian. Sudah berapa banyak orang-orang yang susah move on gara-gara terus "bermandikan" hinaan. Ini mengerikan, apalagi kalau kita terlalu baperan.
Dear Myself, Jangan Terbang karena Pujian
Bagaimana rasanya makan pujian, apakah enak? Bagi hati, mungkin enak, ya. Enak banget malahan! Hanya saja, pujian itu mirip seperti angin. Mau kita makan dan kita tampung sebanyak apapun, ujung-ujungnnya kita tidak akan pernah kenyang. Meletus iya!
Tapi, beda halnya bila myself alias diri ini bisa memanajemen pujian dari orang lain secara "kreatif." Maksudnya? Ya, hembusan angin tidak selalu merugikan kita, kan?
Begitulah, ada kalanya angin mampu menghadirkan kesejukan, dan ada kalanya pula angin bisa membuat kita sakit perut, masuk angin, serta panas dalam.
Rasanya dampak dari "pujian" juga seiras dengan angin. Di satu sisi pujian bisa memberikan kesejukan dan suntikan semangat lebih. Sedangkan di sisi lain, pujian juga bisa menelurkan sikap sombong, berbangga diri secara berlebihan, serta beragam penyakit hati lainnya.
Untuk menghindari sakit yang diakibatkan oleh sanjungan dan pujian, ada baiknya diri ini jangan terbang terlalu tinggi. Kita kembali lagi ke pernyataan tadi, orang lain terkadang hanya "tebak-tebak" rasa, kan?
Karena itulah ungkapan pujian kadang sampai berlebihan. Kita tidak tinggi, kemudian ditinggi-tinggikan. Kita biasa-biasa saja, malah dianggap luar biasa dan "wah."
Semoga saja diri ini tidak terlalu betah dengan sanjungan yang mulai menjauh dari kenyataan. Ya sudah, kita anggap itu doa. Biar doanya saja yang terbang ke langit. Kita jangan, karena kita adalah penduduk bumi.
Dear Myself, Jangan Tenggelam karena Hinaan
Tidak hanya tentang terbang, rasanya diri ini juga tak perlu harus tenggelam hanya gara-gara rasa. Lagi-lagi yang namanya hidup memang begitu. Hidup tidak selalu bercerita tentang pujian, dan sembari menjalani hidup, kita juga akan didatangi berbagai macam hinaan.
Lalu, dari mana datangnya hinaan? Sama seperti pujian, hinaan juga bisa datang dari diri sendiri dan juga orang lain.
Kadang, karena kecewa dan menyesali suatu perbuatan, kita malah memarahi dan menghina diri sendiri. "Mengapa aku seperti ini, tidak seperti itu saja? Bodohnya aku telah melakukan ini!" dan sejibun ungkapan lainnya.
Tapi, kalau sesekali menyesali perbuatan dengan "menghina" diri sendiri, tak terlalu bermasalah, kan? Malahan, yang bermasalah adalah ketika orang lain yang menyesali apa yang telah kita perbuat dengan cara menghina.
Terkadang, di kala hati ini begitu sensitif, seseorang bisa saja langsung tenggelam ke jurang kegalauan yang amat dalam hanya gara-gara beberapa butir hinaan saja.
Padahal, sejenak, diri sendiri sadar bahwa manusia adalah lumbungnya salah. Tapi mengapa orang lain tak terlebih dahulu mau menerima? Yang jelas, tidak akan selesai kita memanajemen hati sendiri ketika diri ini terlalu sibuk mengurus perasaan orang lain.
Maka dari itulah, salah satu jalan yang aman dalam menghadapi sebuah hinaan adalah dengan tidak terlalu meratapi serta tidak juga sampai harus tenggelam karenanya.
Barangkali, hinaan oleh sebagian orang bisa dijadikan dasar atau tumpuan untuk lebih memacu diri. Hanya saja sebagian yang lain tidak selalu bisa "bergaya" seperti itu. Mereka perlu terlebih dahulu memahami apa yang terjadi, merenungi, dan barulah kemudian mengambil keputusan.
Butuh waktu yang lama, kah? Tergantung. Ibaratkan kita terjebak di ke dalam sumur, semakin dalam kita terjatuh, maka semakin lama waktu yang kita perlukan untuk memanjat dan keluar.
Kalaulah kita punya sayap, mungkin terbang adalah jalan terbaik. Tapi, kenyataannya kita bukanlah malaikat, bukan?
Rasanya, kekuatan mental yang bisa membuat kita memanjat "sumur" lebih cepat. Dan rasanya lagi, kita akan lebih cepat "keluar" bila sebelumya tidak tenggelam terlalu dalam gara-gara hinaan.
Salam.