Guru terlalu sibuk "memantaskan" dirinya untuk menjadi sumber dan penyedia pengetahuan yang lengkap sehingga kesempatan siswa untuk mencari dan berusaha menjadi berkurang.
Maka dari itulah, mindset bahwa pembelajaran mesti dipusatkan kepada siswa perlu kembali diperbaharui. Walaupun sistemnya PJJ, bukan berarti siswa berhenti menjadi seorang pelajar yang interaktif. Beberapa kali, mereka juga perlu mengalami dan menjadi sentral pembelajaran.
Guru sebagai Kolabolator
Ketika pembelajaran tatap muka berlangsung, barangkali ketika itu pula seorang guru akan dipandang sebagai sosok pakar. Guru semakin mudah menuangkan isu-isu, fakta-fakta, hingga konsep pengetahuan yang unggul secara kuantitas sembari berkolaborasi dengan siswa.
Namun, di era pandemi semuanya bisa berubah. Karena keterbatasan kesempatan untuk bertatap muka, baik secara nyata maupun virtual, guru punya peluang lebih besar untuk memegang kendali pembelajaran secara penuh.
Sesekali sih, tak begitu masalah. Tapi kalau sudah jadi kecenderungan, ini alamat bahaya.
Terang saja, tidak semua siswa memiliki kemampuan belajar yang sama, baik secara finansial, material, maupun kesempatan. Rugi akhirnya bila ada sebagian siswa yang tak mendapatkan layanan pembelajaran yang sama rata dan sama rasa.
Jadi, di sini, mindset mengajar guru perlu diarahkan kepada pentingnya kolaborasi dan peran guru sebagai penyedia alternatif pembelajaran. Sederhananya, sesekali dengarlah saran siswa maupun orangtua murid.
Mengajak Siswa untuk Berpikir Kritis dan Lebih Berani Mengambil Keputusan
Bukankah Kurikulum Nasional saat ini sudah menuntun siswa untuk berpikir kritis (critical thinking)?Â
Tentu saja, demi mengajak menyelami pengetahuan secara lebih "dalam" lagi, pembelajaran perlu diarahkan kepada Higher Order Thinking Skills (HOTS).
Kebiasaan untuk mengukur keterampilan siswa dari sisi pengetahuan, pemahaman, mengingat, menghafal, dan aplikasi perlu diarahkan ke arah analisis, evaluasi hingga sintesis.
Terang saja, pengetahuan di zaman sekarang tidaklah cukup untuk sekadar tahu, melainkan juga harus dipikirkan bahwa siswa akan menciptakan apa dari pengetahuan tersebut. Kalau sekadar tahu, google lebih tahu. Masa iya siswa harus kalah dengan mesin yang tak punya perasaan! Ups