Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Misi Itu Bernama "Pemberantasan Penyakit Merasa"

20 Agustus 2020   20:38 Diperbarui: 20 Agustus 2020   20:39 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan ini adalah bulan yang spesial karena umat muslim telah singgah di tahun baru Islam, 1 Muharam 1442 H. Ada kisah besar di sebalik tanggal itu, ada strategi dakwah di sebalik tanggal itu, dan ada pula perenungan untuk kita agar kembali meneladani perjuangan Rasulullah SAW.

Tahun baru Islam mengandung kisah tentang Nabi Muhammad SAW yang melakukan hijrah (berpindah;migrasi) dari Mekah ke Madinah bersama sebagian para pengikutnya atas perintah Allah SWT.

Pada tahun menjelang hijrah, Rasul mengalami kesedihan yang sangat mendalam setelah paman Abu Thalib dan istri Rasulullah, Khadijah wafat. Selain itu, keadaan Mekah juga tidak aman. Berkali-kali tekanan dan ancaman kafir Quraisy datang dan meresahkan umat muslim.

Hingga akhirnya, turunlah perintah Allah melalui Qur'an Surah an-Nahl ayat 41 yang berisikan seruan hijrah ke tempat yang baik (Madinah):

"Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui."

Perkembangan Madinah kala itu cukup menjanjikan, terlebih setelah diberlakukannya Baiat Aqabah I dan II. Alhasil, dakwah Islam disambut dengan hangat dan unsur toleransi beragama semakin ditinggikan.

Namun, dalam tulisan ini kita tidak akan membahas lebih jauh tentang bagaimana perjuangan dan kemajuan Madinah di masa itu. Kita mencoba untuk melakukan refleksi alias perenungan "hijrah" yang juga memiliki makna berpindah dari perilaku yang buruk menuju kepada akhlakul karimah.

Di dalam hadis Imam al-Bukhari dan Muslim ra yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, Said bin Malik bin Sinan ra pernah dikisahkan bahwa ada seorang pemuda pembunuh 100 orang yang mengusung misi hijrah, dan ternyata taubatnya diterima oleh Allah.

Nah, misi kita di hari ini juga masih terkait tentang hijrah, kan? Tentu saja, salah besar ketika ada orang yang hari ini menyatakan bahwa dirinya sudah hijrah, padahal kesempatan untuk berbuat dosa antara tiap-tiap orang masih sama.

Hijrah bukan sekadar mengganti baju batik dan kaos bergambar doraemon menjadi jubah, bukan sekadar sebut ana, antum, maupun ukhti, melainkan ikut menghijrahkan kehendak dan hati ke arah yang lebih baik.

Lalu, apakah hijrah yang sesungguhnya itu mudah? Oh, tentu tidak.

Dalam hadis, Rasulullah menyebutkan bahwa hijrah adalah perkara yang sangat berat. (Tertuang dalam Shahih Muslim hadis nomor 3469. Lihat: Syarh Shahih Muslim Nawawi). Meski demikian, sebagai seorang muslim kita tidak boleh berhenti beramal baik.

Dalam Qur'an Surah Az-Zumar ayat 53, Allah menyebut hamba-Nya dengan panggilan sayang dan meminta kita untuk tidak boleh berputus asa.

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Bayangkan, rahmat Allah sungguh tiada putus, dan kesempatan kita untuk bertaubat selalu terbuka walaupun diri ini sering berperilaku kian melampau batas. Kesempatan taubat hanya akan berakhir di dua situasi. Pertama adalah ketika ajal menjemput. Dan kedua, ketika hari kiamat telah tiba.

Tapi, sekarang Alhamdulillah kita masih bisa bernapas, kan? Alhamdulillah kiamat belum tiba walaupun sudah dekat, kan?

Yup, inilah kesempatan kita selaku hamba untuk mencanangkan sebuah misi besar dengan berpijak pada momentum Tahun Baru Islam 1442 H. Misi apakah itu? Perang?

Tidak mungkin, karena tadi telah disebutkan tentang diri, maka misi yang perlu kita emban saat ini adalah "memberantas penyakit merasa".

Misi Besar itu Bernama "Pemberantasan Penyakit Merasa"

Ada apa dengan penyakit "merasa", apakah itu bahaya? Tentu saja bahaya. Bahkan, salah satu contoh penyakit "merasa" telah dikategorikan Syirkul Khafi (Syirik tersembunyi) dan dicap sebagai amalan buruk yang lebih berbahaya daripada fitnah Dajjal. Penyakit ini dinamakan riya'.

Saat sedekah lalu membanggakannya di depan orang lain, itulah riya'. Saat menjadi imam sholat dan kemudian memperindah bacaan supaya dipuji orang lain, itu juga riya'. Saat sholat sendiri kemudian mengkhusyukkan diri agar dipandang oleh orang lain, itu pun riya'.

Dalam Qur'an Surah Al-Maun, orang-orang yang memiliki penyakit "merasa" bab riya' disebut sebagai pendusta agama.

Jika kita lama-lama memelihara penyakit riya' maka bahayalah kita. Bisa-bisa diri ini bangkrut dan lelahnya beribadah tak sedikitpun yang menjadi lillah.

Belum lagi, nanti penyakit riya' bisa beranak-pinak dan menjadikan seseorang merasa bahwa dirinyalah yang paling benar, sombong (takabur) karena tingginya jabatan dan ilmu, hingga bangga berlebihan atas apa yang telah ia raih (ujub). Duh! Semoga kita dibebaskan dari sifat ini.

Kemudian, ada pula penyakit "merasa" yang lain, dan ini juga patut kita berantas. Ialah penyakit "merasa" bab iri, dengki bin hasad. Merasa senang melihat orang susah, dan merasa susah melihat orang bahagia, jelas si pemilik hati yang seperti ini sungguh berbahaya.

Bagaimana tidak berbahaya, dalam suatu hadis disebutkan bahwa, orang yang iri hati pahalanya akan hangus ibarat kayu bakar yang dilahap oleh api. Rugi, kan? Tentu saja.

Ilustrasi kayu bakar. Gambar oleh Larry White dari Pixabay 
Ilustrasi kayu bakar. Gambar oleh Larry White dari Pixabay 

Padahal, dalam Qur'an Surah An-Nisa ayat 32 dijelaskan bahwa tiap-tiap perempuan dan laki-laki telah mendapatkan bagiannya masing-masing sesuai dengan jerih payah bin usaha mereka.

Di dalam ayat ini, Allah juga menerangkan bahwa "mohonkanlah kepada Allah dari sebagian karunia-Nya" yang juga menegaskan bahwa sesungguhnya rezeki masing-masing hamba sudah diatur dan itu pasti cukup.

Maka dari itulah penyakit "merasa" bab iri hati ini perlu diberantas. Kalau tidak, hati ini bisa jadi makin sempit, malas bin lupa bersyukur (kufur), malas beribadah, malas berdoa, malas berusaha di jalan yang benar, serta juga malas untuk berderma. Lha, untuk diri sendiri saja masih kurang!

Caranya? Pertama, tentu kita harus menguatkan akidah dan lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Selain itu, kita perlu terus melantunkan doa kepada Allah agar diri ini diberikan kelapangan hati, mencoba untuk lebih menghargai diri sendiri, bersyukur, mengapresiasi perbuatan baik orang lain serta terus menggaungkan pikiran positif. Sungguh, Allah itu Maha Pembolak-balik hati.

Meski demikian, bukan berarti semua penyakit "merasa" itu negatif bin buruk bin jelek, ya!

Ada juga sikap "merasa" yang perlu terus kita pelihara. Apakah itu? Salah satunya, "merasa cukup" atas segala nikmat yang telah dicurahkan oleh Allah SWT. Dalam Islam, perilaku ini disebut Qanaah.

Salam.

Curup, 1 Muharam 1442 Hijriah

Gambar oleh Garis Bintang dari Freepik.com
Gambar oleh Garis Bintang dari Freepik.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun