Siapa yang tak kenal dengan pohon aren. Pohon yang satu ini benar-benar kaya manfaat bin maslahat. Dari aren, lahirlah kolang-kaling, gula aren, gula semut, bahkan sapu ijuk. Alhasil, pohon aren semakin populer hingga bisa kita juluki sebagai tanaman serbaguna.
Namun, tahukah Anda seperti apa awal mula kisah sehingga pohon aren ini bisa tumbuh di Indonesia?
Dalam hal ini, Suku Rejang (Curup-Bengkulu) punya cerita tersendiri. Kebetulan saya juga termasuk dalam Suku Rejang yang sewaktu kecil sering diceritakan oleh Ayah tentang asal mula munculnya pohon Enau, julukan lain dari pohon aren.
Sebenarnya banyak pula julukan lain dari pohon ini.
Ada nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk (aneka nama lokal di Sumatra dan Semenanjung Malaya); kawung, taren (Sd.); akol, akel, akere, inru, indu (bahasa-bahasa di Sulawesi); moka, moke, tuwa, hingga tuwak (di Nusa Tenggara).
Lagi-lagi banyaknya julukan tak membuat kita pusing dan pening. Hal ini malah memperkaya bahasa dan istilah tentang aren. Baiklah, langsung saja kita simak kisah tentang asal mula tumbuhnya pohon aren.
Dahulu kala di sebuah desa terpencil (di riwayat lain disebutkan daerah Curup; Air Meles), hiduplah 7 orang bersaudara yang sudah yatim piatu. 7 saudara ini terdiri atas 6 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.
Kebetulan saudara perempuan ini ialah Si bungsu yang kemudian diberi nama putri Sedaro Putih. Sang putri begitu disayang oleh kakak-kakaknya meskipun mereka hidup dalam kesusahan sebagai penggarap sebidang tanah.
Di suatu malam saat putri Sedaro Putih sudah tertidur, tiba-tiba saja ia bermimpi buruk. Dalam mimpinya, sang putri didatangi oleh laki-laki tua yang mengatakan bahwa ajal putri sudah dekat.