Syahdan, mereka lalu berinisiatif untuk menyadap (nyebak: bahasa Rejang) tangkai Sedaro Putih tersebut. Air sadapan mereka tampung dalam tikoa (Rejang: Bambu/Bumbung; bisa 1-3 ruas) dan kemudian ditinggal selama satu malam.
Karena tangkai bunga Sedaro Putih kembali tumbuh, mereka lalu mencoba mengingat kembali tentang apa yang "dilakukan" oleh pohon kayu kapung. Yaitu, tangkai bunga dipukul-pukul hingga memar, digoyang-goyang bunganya, dan setelah bunga itu mekar, keluarlah air nira.
Hanya saja, seiring dengan banyaknya air nira yang didapatkan, muncullah masalah. Ya, air nira akan menjadi masam (air nira masam;tuak) jika dibiarkan lebih dari satu malam.
Namun, inisiatif dari 6 saudara laki-laki ini tidak putus. Mereka lalu mencoba memasak air nira hingga mengental dan bewarna merah kecoklatan, kemudian mereka diamkan/bekukan. Air nira yang sudah kental dan beku inilah yang kemudian kita kenal dengan nama gula aren (gula merah).
Sedangkan pohon Sedaro Putih tadi kemudian dijuluki dengan sebutan pohon Enau alias pohon aren.
Dari dulu hingga hari ini, sistem penyadapan air nira masih relatif sama. Kami dan mayoritas warga di sini masih menggunakan ta'tung untuk memukul, menggunakan tikoa untuk penampung air nira, serta memakai tempurung kelapa untuk mencetak gula merah.
Gula aren bisa dikonsumsi langsung, bisa dijadikan teman ngopi, bahan peracik jamu tradisional serta olahan makanan maupun minuman lainnya. Sungguh pohon aren yang serbaguna.
Sesuai dengan kisah ini, ternyata gula merah alias gula aren memang terbukti kaya manfaat. Gula aren bisa dikonsumsi langsung, bisa dijadikan teman ngopi, bahan peracik jamu tradisional serta olahan makanan maupun minuman lainnya. Sungguh pohon aren yang serbaguna.