Barulah 5 tahun kemudian pohon Sedaro Putih berbunga dan berbuah. Seiring dengan berhembusnya angin, seiring itu pula dahan pohon kapung selalu memukul tangkai buah Sedaro Putih hingga memar.
Menurut penuturan dari Ayah saya, pohon kayu kapung yang dimaksud di sini adalah pohon yang memiliki kayu/dahan yang ringan namun bernas alias berisi. Kira-kira, mirip dengan pohon petai cina dan sawo.
Di masa sekarang, sudah tersedia kayu pemukul yang kami sebut ta'tung. Bentuknya sekilas mirip dengan pentung dan dibuat sendiri dengan mengukir tunggul-tunggul kayu bernas.
Kembali ke kisah. Kira-kira 1-2 bulan setelah dahan kayu kapung terus memukul tangkai buah pohon Sedaro Putih, datanglah salah seorang abangnya yang ingin berziarah ke makam sang bungsu.
Sewaktu istrihat di dekat makam, sang Abang menyaksikan tangkai Sedaro Putih terus dipukul oleh dahan kayu kapung dengan bantuan angin. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja datang seekor tupai yang mulai menggerogoti tangkai buah.
Sang Abang terus memperhatikan ulah tupai. Dilihatnya dari jauh, tiba-tiba tangkai yang digigit itu mengeluarkan air dan diminum oleh tupai sampailah puas. Dan setelah tupai pergi, sang Abang lalu mencicipi air dari tangkai Sedaro Putih tadi. Dan ternyata, rasanya manis.
Air inilah yang kemudian kita kenal dengan sebutan "nira". Kami menyebutnya "niro".
Setelah mencicipi air nira tadi, sang Abang lalu pulang dan melaporkan rentetan kejadian yang ia saksikan kepada saudara-saudaranya.