Kelompok sudah didapat, desa KKN sudah disurvei, mulailah masing-masing mahasiswa mengenal masyarakat secara lebih dekat sekalian belajar hidup bermasyarakat. Pengalamanku, dulu kami KKN selama hampir 3 bulan, tepatnya pada tahun 2015.
Ada satu gagasan yang bagiku tidak pernah berubah hingga saat ini, yaitu, makin pelosok desanya maka makin enak bergaul dengan masyarakat. Sebaliknya, makin maju sebuah desa, maka makin sulitlah bagi mahasiswa untuk mendekati mereka.
Secara, orang-orang kota kan cenderung individualistik dan kurang peduli. Eh, banyak kesibukan maksudnya.
Lalu, apa serunya KKN di desa? Wuih, seru dong. Kalau rajin bermasyarakat, tiap pagi dan sore biasanya kita akan kedatangan aneka hasil bumi dari masyarakat setempat.
Ada yang mengantarkan sayuran mentah, sayuran masak, singkong, bahkan ada pula yang minta nomor HP (biasanya bujang atau gadis tanggung). Gratis? Tentu saja, syaratnya mudah. Mahasiswa cukup rajin-rajin bertamu dan menjalin silaturahmi dengan komunikasi yang sehat.
Dengan begitu, dampaknya akan semakin terasa bila mahasiswa mau mengimplementasikan program kerja KKN.
Mau gotong-royong? Mudah. Mau minta iuran untuk kegiatan ramadan dan 17-san? Mudah. Asalkan mahasiswa KKN tidak mengurung diri di sekretariat, program kerja dijamin akan sukses.
Atau, mau nilai tinggi? Tentu saja mudah. Cukup dekati kepala desa. Eh, rajin-rajin KKN maksudnya. Hahaha
Sungguh masih banyak kisah-kisah KKN lainnya yang terkadang mampu membuat mahasiswa senyum-senyum sendiri.
Apalagi jika mahasiswa tadi termasuk kategori orang yang dianggap "ganteng dan cantik." Wuih, bahaya! Bisa-bisa sekretariat selalu ramai. Ramai dengan tamu, ramai dengan bapak/ibu yang mengantar sayuran, juga ramai dengan gombalan. Duh, awas baper!