"Senyum itu sedekah, sedekah itu ibadah."
Senyum adalah sedekah, rasanya kita sering mendengar ungkapan ini. Ungkapannya indah dan juga merupakan kalam dari seorang Nabi kita tercinta.
Senyum tampaknya merupakan kebaikan yang sepele, tapi ketahuilah, senyum adalah ibadah yang ringan untuk dilakukan, tapi dinilai berat dalam timbangan pahala. Asal ikhlas tapi, ya!
Ibadahnya ringan, juga mudah untuk dilakukan tiap-tiap orang dari semua kalangan umur. Bahkan, bayi yang baru berusia 1,5 -- 2 bulan saja sudah bisa tersenyum.Â
Bayangkan! Bayi saja yang belum lama lahir ke dunia sudah mampu menebar senyum. Kita yang sudah dewasa bagaimana? Jangan terlalu banyak menyimpan dendam, ya. Nanti hatimu yang membusuk! Ups
Meski demikian, lagi-lagi kita perlu belajar banyak dari seorang bayi. Bayi selalu ikhlas dalam memberikan senyuman. Hanya dengan teriakan "Ciluk...baaa. Ciluk Ciluk Ciluk...baaa", bayi bisa tersenyum dan meninggikan keceriaan kepada siapa saja yang berada di dekatnya.
Sedangkan kita?
Kalau kita yang diciluk-ciluk ba, bisa-bisa malah merajuk dan menganggap itu sebagai satire. Ups Ups, jangan-jangan terlalu banyak pake perasaan, ya!
Tapi, kenyataannya memang demikian. Senyumnya orang dewasa seringkali melahirkan prasangka walaupun prasangka itu bisa datang dari diri sendiri.
Ada yang tersenyum atas kesuksesan orang lain secara utuh lahir batin, ada pula senyuman yang hanya manis di bibir dan indah di padang mata. Sedangkan hatinya? Kita tak cukup ilmu untuk bisa membaca hati orang lain.
Ada yang tersenyum atas penderitaan orang lain sekaligus merasa bahwa dirinya lebih aman dibandingkan dengan mereka yang susah. Pada prasangka ini, tampak bahwa penyakit "merasa" itu sangat berbahaya dan kalau bisa, janganlah terus dilengketkan dengan senyum.
Walaupun begitu adanya, kita sebagai manusia memang tidak perlu mendalami atau mencampuri urusan orang lain secara lebih jauh. Secara, Allah dalam kalam-Nya memerintahkan kepada para hamba agar senantiasa menjauhkan diri dari prasangka. Sebagian prasangka adalah dosa.
Jadi? Kembali lagi ke makna senyum tadi, sudah sepatutnya tiap-tiap orang menerima dengan ringan hati. Melempar senyum dengan tulus, dan menangkapnya juga dengan tulus.
Senyum, Sedekah Penyembunyi Hati yang Berantakan
Mengapa senyum itu mudah dilakukan dan bisa diganjar dengan pahala yang besar? Rasanya, judul ini bisa menjawabnya. Senyum adalah salah satu perbuatan yang dapat dilakukan seseorang demi menyembunyikanJika kita bandingkan senyum dengan sedekah, nyatanya sedekah lebih butuh "tenaga" dibandingkan memberi senyuman.
Contoh sedekah: menyingkirkan batu di jalan raya, memberi makanan, menyumbang pikiran, hingga ikut kerja bakti. Masing-masing dari perbuatan ini tentu harus melibatkan tenaga berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan ketika seseorang tersenyum.
Senyum itu sungguh mudah, tapi kalau sudah disandingkan dengan perkara hati, maka tenaga yang dibutuhkan untuk meluweskan bibir menjadi sangat sulit.
Ada masalah yang bertumpuk, kata orang jangan lupa senyum. Ada ribut-ribut dalam rumah tangga hingga pecah piring pecah mangkuk, tapi kata orang, saat keluar rumah tetaplah berikan senyum. Nah, apakah semua orang mampu memberikan senyum di saat-saat krusial seperti ini?
Kiranya tak banyak yang bisa, hanya tingkat kelapangan hati yang jadi penentunya.
Padahal, jika kita mau berbicara tentang ketegaran hidup, maka senyum adalah salah satu cara termudah untuk bersahabat dengan hati. Mengapa? Ya, tidak semua orang mau perhatian dan mau menata kembali wajah kita yang sedang cemberut.
Ada saat di mana kita sendiri yang harus menata hati. Ada saat di mana kita harus kuat menerima ujian ilahi. Di saat itulah kita perlu tersenyum. Yakinlah, nanti pahalanya bisa berlipat ganda. Kok bisa?
Kita selalu yakin bahwa Allah memberikan cobaan, kesusahan, dan kesakit-hatian sesuai dengan kadar kemampuan hamba-Nya. Nah, perbuatan senyum saja sudah bernilai ibadah. Apalagi kalau kita mampu tersenyum di saat hati gundah dan banyak masalah, berarti pahalanya dirapel, kan?
Belum selesai di sana, dalam hadis Qudsi juga ditegaskan bahwa prasangka Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Artinya, jika seorang hamba senantiasa berhuznudzon kepada Allah, maka Allah juga seperti itu terhadapnya.
Karena sudah sampai sini, coba kita gabungkan antara senyum, berlapang dada menerima ujian-Nya, plus berbaik sangka. Jadi komplit kan hadiah pahalanya? Dijumlahkan dengan ikhlas, tak terhitung berapa kali lipat pahala yang akan diterima.
Itulah nikmat tersebar dari senyum, dan jika tidak direnungkan, bisa jadi kenikmatan ini masih jadi rahasia yang belum terungkap bagi orang lain.
Apa, masih belum cukup dengan pahala yang bentuknya adalah metafisika? Ya sudah, kita dekatkan perihal senyum dengan kehidupan nyata, bahwa senyum adalah salah satu sarana pembuka rezeki.
Pengalamanku, dulu, saat bekerja sebagai guru honorer sering diminta untuk menjadi petugas piket. Alasannya cukup masuk akal, kata rekan-rekan guru aku sering tersenyum. Oleh siswa juga, aku dikenal sebagai guru yang sering senyum.
Mungkin, pandangan mereka aku ini dianggap tidak punya masalah kali, ya! Padahal? Masalahku tiap hari lebih tinggi dari gunung Dempo dan lebih dalam dari Samudra Hindia. Hohoho
Tapi ternyata, dari perilaku senyum itu juga aku kemudian mendapatkan tugas tambahan sebagai staf perpustakaan, merangkap juga sebagai guru honorer. pandangan para "pejabat" di sekolah, perilaku mudah senyum cocok untuk melayani anak-anak agar selera membaca buku.
Nah, dari sini, gara-gara senyum, akhirnya kita bisa bertambah nikmat berupa rezeki, kan? ini hanya contoh kisah dariku. Kuyakin, masih banyak kisah-kisah inspiratif yang mungkin sudah pembaca alami sendiri.
Oke, kita sudah sampai di sini. Akhirnya, aku ingin bertanya lagi,
"Sudahkah Anda tersenyum hari ini?"
"Jika sudah, seberapa sering?"
Eits, tak perlu dijawab! Cukup sodornya senyum yang indah dengan penuh keikhlasan.
Salam Senyum. :-)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H