Siapa yang akan menyangka bahwa salah satu program Merdeka Belajar Mas Nadiem bersama Kemendikbud yang berjudul "Organisasi Penggerak" akan menuai polemik. Padahal dulu saat diluncurkan, program ini diharapkan mampu menjadi inisiator program Merdeka Belajar lainnya.
Antara Organisasi Penggerak, Sekolah Penggerak, hingga Guru Penggerak, agaknya ini adalah satu paket program Merdeka Belajar yang ke depannya sukar untuk dipisahkan. Guru butuh sekolah, sekolah butuh organisasi, dan organisasi juga butuh guru dan sekolah.
Ketiga program ini semestinya bisa berjalan bersama karena akan menimbulkan hubungan timbal-balik yang kemudian berlanjut pada hubungan sebab-akibat. Sebab ada guru, sekolah penggerak akan berjaya. Sebab ada sekolah, tuah organisasi akan terlihat. dan begitu seterusnya.
Namun, belum sempat kita membayangkan hubungan sebab-akibat yang positif ini, ternyata ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mulai mengangkat kaki alias beranjak mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP).
Padahal kedua organisasi Islam ini adalah yang terbesar di bumi Pertiwi. Baik NU maupun Muhammadiyah sudah berkontribusi besar atas kemajuan pendidikan Indonesia.
Sudah tak terhitung berapa sekolah, pesantren, hingga madrasah yang lahir dari organisasi ini. Itu merupakan bagian dari sejarah yang luar biasa menurut saya, dan sejarah tidak bisa kita pandang hanya dengan sebelah mata. Apalagi hanya demi kepentingan golongan tertentu saja.
Maka dari itulah, apa jadinya sebuah program pendidikan tanpa keterlibatan langsung dari kedua ormas ini. Muhammadiyah mundur, dan NU juga mundur.
Dari sisi Muhammadiyah, ada 3 alasan krusial mengapa mereka memilih untuk mundur dari keikutsertaan.
Disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kasiyarno yang tertuang dalam situs resmi Muhammadiyah, alasan ormas ini mundur dari POP Kemendikbud RI, yaitu:
- Kasiyarno menegaskan bahwa Persyarikatan Muhammadiyah sudah banyak membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sejak sebelum Indonesia merdeka, sehingga tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam POP.
- Kriteria pemilihan ormas dan Lembaga Pendidikan yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas dan tidak transparan.
- Muhammadiyah akan tetap berkomitmen membantu pemerintah dalam meningkatkan sektor pendidikan walau tanpa keikutsertaan mereka dalam POP.
Meskipun Muhammadiyah sudah menyatakan mundur dari keikutsertaan, kita selalu bangga dengan komitmen bahwa ormas ini terus berkontribusi agar pendidikan Indonesia semakin mengudara.
Lalu, bagaimana dengan NU?