Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengajar Itu Berat, tapi Tidak untuk Memberatkan!

23 Juli 2020   21:39 Diperbarui: 24 Juli 2020   00:21 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Patrice Audet dari Pixabay

Di tahun ajaran 2020/2021 ini, agaknya adaptasi mengajar guru di masing-masing satuan pendidikan mulai terasa. Tantangan dalam memberikan layanan pendidikan juga semakin nyata dan berat. Walau begitu, pengertian belajar-mengajar tetap tidak berubah.

Yang menjadikannya berbeda hanyalah media belajar. Ada media belajar daring, media belajar TVRI/RRI, dan ada pula yang hanya mampu belajar secara offline.

Kesan pertama, yang penting masih ada proses belajar-mengajar. Suasana boleh pandemi, tapi tetap saja layanan pendidikan harus berjalan sebagaimana mestinya.

Jangan cuma stabilitas ekonomi saja yang diutamakan, pendidikan juga harus diperhatikan. Karena pendidikan adalah hak tiap-tiap anak. 

Tuntunannya: tholabul ilmi minal mahdi ilal lahdi (tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat) dan long life education (pendidikan seumur hidup).

Guru yang paham dengan tuntunan ini pasti merasakan betul bagaimana beratnya mengajar di sekolah. Mengajar bukan cuma sekadar tugas utama guru, melainkan juga merupakan kewajiban untuk mengamalkan ilmu.

Secara, ilmu yang sudah didapat tidak boleh dipendam sendiri. Wajib untuk diajarkan, wajib untuk diamalkan agar nantinya tiap-tiap orang yang berilmu bisa memetik buah manis alias hasilnya.

Selain itu, mengajar dicap "berat" karena apa-apa yang disampaikan oleh seorang guru sejatinya harus terbebas dari kesalahan sebisa mungkin. Kalau mengajarnya banyak-banyak salah, berarti banyak juga dosanya. Takut, kan? Kalau saya sih, takut banget!

Maka dari itulah, guru-guru yang peka dengan pentingnya sebuah ilmu selalu berusaha untuk mengajar dengan sebaik mungkin. Barangkali mengajar itu berat, tapi di sisi lain, mengajar adalah tanggung jawab diri atas ilmu.

Hanya saja, nuansa belajar-mengajar di tahun ajaran baru kali ini cukup berbeda. Hadirnya pandemi seakan mengubah segalanya tentang sistem belajar. Akibatnya? Guru, siswa, dan orangtua serba kesulitan.

Guru sulit menentukan sistem mengajar karena harus menyesuaikan dengan teknologi, senjangnya fasilitas pendidikan, hingga biaya.

Siswa dan orangtua pun begitu, sebagian dari mereka sibuk membeli handphone baru, dan sebagian sisanya malah kepusingan dengan kedatangan tamu agung yang bernama "tugas baru."

Tugas Maha Berat, Salah Satu Perwujudan Mengajar yang Memberatkan
Gambar oleh Patrice Audet dari Pixabay
Gambar oleh Patrice Audet dari Pixabay

Anak-anak mengeluh bahwa mereka terus ditimpa oleh tugas-tugas yang maha berat? Agaknya inilah salah satu perwujudan dari cara mengajar yang memberatkan.

Barangkali hadirnya tugas-tugas ini merupakan bagian dari adaptasi guru di era pandemi. Wajar kiranya, sangat-sangat wajar malahan. Mengapa demikian?

Jawabannya sederhana, yaitu kita punya kurikulum. Selama ini, kurikulum yang sejatinya berisikan muatan pembelajaran telah kita jadikan pijakan untuk mengajar. Ada rencana mengajar di sana, ada implementasi, dan ada pula target mengajar.

Kompetensi intinya segini, kompetensi dasarnya ini, ini, dan ini. Semua rencana dan target ini menyatu serta tertuang dalam analisis alokasi waktu. Ada minggu efektif, dan ada minggu tidak efektif, keduanya menjadi dasar bagi guru untuk menuntaskan pembelajaran di setiap semester.

Apakah pembelajarannya harus tuntas?

Kemarin masih ada UN, jadi, kalau tidak tuntas pembelajaran maka anak-anaklah yang rugi. Nanti mereka tak bisa menjawab soal-soal UN maupun ujian sekolah. Hari ini UN tinggal cerita, tapi, rasanya ambisi untuk mengejar ketuntasan kurikulum belumlah sirna.

Mengapa demikian? Hal pertama yang mungkin bisa kita salahkan adalah, padatnya kurikulum pembelajaran. Dalam setiap tahun ada 12-13 bab yang harus dituntaskan oleh anak-anak.

Bahkan, anak SD lebih parah lagi, mereka belajar dengan kurikulum tematik. Seingat saya dalam 1 tahun ada 8-9 tema, dan masing-masing tema dihabiskan dalam waktu 1 bulan.

Tapi, tidak tebal, kok. Saya cek di buku tema 1 kelas 5 SD, jumlah halamannya 272. Belum sampai 300, kan? Hemm. Begitulah kenyataannya. Hadirnya tugas-tugas yang dicap maha berat itu tidaklah semata-mata salah guru. Kurikulumnya padat, otomatis mengajarnya juga harus gesit.

Bukankah saat ini suasana sedang pandemi? Mengapa tidak kita kesampingkan saja yang namanya ketercapaian kurikulum?

Benar, karena keterbatasan waktu, biaya, kesempatan, dan lebih memprioritaskan keamanan maka mengesampingkan ketercapaian kurikulum adalah solusi terbaik.

Namun, faktanya, Komisioner KPAI Retno Listyarti menyebutkan bahwa banyak guru tetap mengejar ketuntasan kurikulum dengan cara memberikan tugas terus-menerus pada siswa mereka selama PJJ.

Prasangka Retno pun seiras dengan padatnya kurikulum kita. Ya, beliau menduga bahwa hadirnya tugas maha berat ini adalah akibat keegoisan sekolah untuk menuntaskan pencapaian kurikulum.

Nah, berarti salah kurikulum, kan? Mestinya begitu, salahkan kurikulum dahulu, baru kemudian salahkan guru. Secara, mengajar saja sudah sulit, apalagi jika harus mengajar sambil mengangkat beban yang ditawarkan oleh kurikulum.

Tambah lagi, kurikulum yang ditawarkan oleh pemerintah hari ini adalah kurikulum pembelajaran tuntas. Ya, tuntas, tanpa ranking, dan lebih akrab dengan karakter. Itulah yang selama ini berdengung-dengung di telinga para guru. jadi, mengubah mindset ini sungguh tidaklah mudah.

Mengajar Itu Memang Berat, tapi Tidak Untuk Memberatkan!

Gambar oleh mmi9 dari Pixabay
Gambar oleh mmi9 dari Pixabay

Lalu, bagaimana caranya agar guru tetap bisa mengajar tanpa harus memberatkan? Beberapa waktu yang lalu pemerintah memang sudah mengajak sekolah untuk tidak terlalu berambisi menuntaskan kurikulum.

Hal ini sudah dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 4 Tahun 2020.

Lebih dari itu, pihak Kemendikbud juga telah mengeluarkan buku saku panduan pembelajaran di masa pandemi covid-19. Pada dasarnya buku dan surat edaran ini sangat berguna sebagai panduan, hanya saja penerapannya tidak semudah panduannya.

Oke kita anggap bahwa tidak perlu mengejar target alias ketuntasan kurikulum, karena situasi hari ini memang masih darurat. Tapi, adakah kemudian ditetapkan standar ketercapaian minimalnya?

Hal inilah yang kemudian masih menjadi tanda tanya besar di kening para guru. Mengapa lahir cara mengajar yang terkesan memberatkan, agaknya faktor ketidakjelasan standar minimal ketuntasanlah yang menjadi soal. Sederhananya, anak dapat apa di masa pandemi ini.

Bagaimana guru bisa tahu pembelajaran itu memberatkan atau tidak sedangkan kurikulum yang padat sudah ditetapkan dari sananya. Selama ini, tidak hanya siswa yang harus belajar tuntas, tapi guru juga perlu mengajar secara tuntas. Itulah perwujudan dari kewajiban.

Pada akhirnya, Mas Nadiem memang perlu lebih serius lagi dalam menangani permasalahan pembelajaran jarak jauh ini. Mendikbud bersama Kemendikbud perlu sering-sering mengkaji apa saja faktor yang menjadikan cara mengajar guru terkesan memberatkan.

Soalnya, mengajar itu berat. Tambah lagi guru wajib adaptasi dengan suasana pandemi. Memberatkan di sini bisa jadi hanyalah akibat. Akibat dari ketidakjelasan tuntunan, rencana, dan standar.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun