Siswa dan orangtua pun begitu, sebagian dari mereka sibuk membeli handphone baru, dan sebagian sisanya malah kepusingan dengan kedatangan tamu agung yang bernama "tugas baru."
Tugas Maha Berat, Salah Satu Perwujudan Mengajar yang Memberatkan
Anak-anak mengeluh bahwa mereka terus ditimpa oleh tugas-tugas yang maha berat? Agaknya inilah salah satu perwujudan dari cara mengajar yang memberatkan.
Barangkali hadirnya tugas-tugas ini merupakan bagian dari adaptasi guru di era pandemi. Wajar kiranya, sangat-sangat wajar malahan. Mengapa demikian?
Jawabannya sederhana, yaitu kita punya kurikulum. Selama ini, kurikulum yang sejatinya berisikan muatan pembelajaran telah kita jadikan pijakan untuk mengajar. Ada rencana mengajar di sana, ada implementasi, dan ada pula target mengajar.
Kompetensi intinya segini, kompetensi dasarnya ini, ini, dan ini. Semua rencana dan target ini menyatu serta tertuang dalam analisis alokasi waktu. Ada minggu efektif, dan ada minggu tidak efektif, keduanya menjadi dasar bagi guru untuk menuntaskan pembelajaran di setiap semester.
Apakah pembelajarannya harus tuntas?
Kemarin masih ada UN, jadi, kalau tidak tuntas pembelajaran maka anak-anaklah yang rugi. Nanti mereka tak bisa menjawab soal-soal UN maupun ujian sekolah. Hari ini UN tinggal cerita, tapi, rasanya ambisi untuk mengejar ketuntasan kurikulum belumlah sirna.
Mengapa demikian? Hal pertama yang mungkin bisa kita salahkan adalah, padatnya kurikulum pembelajaran. Dalam setiap tahun ada 12-13 bab yang harus dituntaskan oleh anak-anak.
Bahkan, anak SD lebih parah lagi, mereka belajar dengan kurikulum tematik. Seingat saya dalam 1 tahun ada 8-9 tema, dan masing-masing tema dihabiskan dalam waktu 1 bulan.
Tapi, tidak tebal, kok. Saya cek di buku tema 1 kelas 5 SD, jumlah halamannya 272. Belum sampai 300, kan? Hemm. Begitulah kenyataannya. Hadirnya tugas-tugas yang dicap maha berat itu tidaklah semata-mata salah guru. Kurikulumnya padat, otomatis mengajarnya juga harus gesit.
Bukankah saat ini suasana sedang pandemi? Mengapa tidak kita kesampingkan saja yang namanya ketercapaian kurikulum?
Benar, karena keterbatasan waktu, biaya, kesempatan, dan lebih memprioritaskan keamanan maka mengesampingkan ketercapaian kurikulum adalah solusi terbaik.
Namun, faktanya, Komisioner KPAI Retno Listyarti menyebutkan bahwa banyak guru tetap mengejar ketuntasan kurikulum dengan cara memberikan tugas terus-menerus pada siswa mereka selama PJJ.