Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tak Ada Rekrutmen CPNS hingga 2021, Siapa yang Akan Mengisi Ruang Kelas, Pak Tjahjo?

7 Juli 2020   17:10 Diperbarui: 8 Juli 2020   07:54 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, tepatnya pada hari Senin (06/07/2020) ada berita mengejutkan yang datang dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bernama Tjahjo Kumolo. Beliau memberikan pernyataan bahwa dalam 2 tahun ke depan tidak akan ada rekrutmen CPNS.

"Rekrutmen CPNS, dua tahun ini enggak ada. Kecuali kedinasan yang memang sudah terprogram. Akpol (Akademi Polisi), Akmil (Akademi Militer) tetap (dilaksanakan) di 2021," kata Tjahjo di Gedung DPR, Jakarta, Senin (6/7/2020).

Sebenarnya berita ini tidak terlalu mengejutkan karena merupakan bagian dari efek hadirnya pandemi Covid-19. Tapi, jika kita kembali menimbang kebutuhan ASN di lapangan, maka jalan perekrutan CPNS dirasa sangat perlu. Dan kalau bisa, dilakukan setiap tahun.

Hanya saja, setumpuk permasalahan yang hadir baru-baru ini seakan jadi penghambat terbesar digelarnya perekrutan pegawai.

Dimulai dari terpotongnya THR pegawai, tertundanya gaji ke-13 hingga waktu yang ditentukan kemudian, pemangkasan PNS, dan terbaru ada 200 ribu pensiunan PNS yang terhambat pencairan tabungan rumahnya gara-gara peralihan Bapertarum menjadi BP Tapera.

Sejatinya permasalahan-permasalahan seperti ini jadi cukup sukar. Selain harus me-New Normal-kan diri di tengah pandemi, para pimpinan juga harus bekerja dan berkoordinasi secara lintas kementerian.

Ada BKN, Kemenpan-RB, Kemenkeu, Kementerian PUPR, hingga juga Kemendikbud. Ramai dan panjangnya jalan pembahasan hingga lintas kementerian ini tentu memakan waktu yang cukup lama.

Mau bagaimana lagi. Dengan hadirnya pandemi, alasan dengan kata-kata "corona" seakan semakin sering diucapkan dan semakin sering pula kita berupaya untuk memaklumi.

Jadi, semakin susahlah kita berkoar-koar untuk menuntut janji perekrutan CPNS tiap tahun. Jangankan mau bicara perekrutan, tes CPNS 2019 kemarin saja belum selesai hingga saat ini.

Bahkan, nasib PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang sejatinya sudah lulus dan tinggal mendapatkan NIP juga belum bisa dipastikan. Sederhananya, negeri ini kekurangan uang untuk mendanai semuanya. Walaupun salah satu darinya sudah jadi unsur prioritas.

Meski demikian, tetap saja pemerintah tak boleh semena-mena menutup mata atas kebutuhan-kebutuhan pegawai yang sangat mendesak. Seperti contohnya adalah guru. 

Mengapa kebutuhan perekrutan guru sebagai pegawai dirasa penting?

Terang saja, seperti apa pun susahnya keadaan negeri ini, layanan pendidikan di berbagai penjuru bumi Pertiwi tak boleh berhenti. Ganti Menteri, ganti Presiden, bahkan ganti kurikulum boleh-boleh saja. Tapi, peran guru untuk mengisi ruang kelas tak bisa terganti.

Pak Abraham tengah mengajarkan tentang peta dunia kepada muridnya di SMPN 74, Rawamangun, Jakarta, Selasa (11/8/2015). Foto: KOMPAS/Riza Fathoni.
Pak Abraham tengah mengajarkan tentang peta dunia kepada muridnya di SMPN 74, Rawamangun, Jakarta, Selasa (11/8/2015). Foto: KOMPAS/Riza Fathoni.

Bayangkan bila kemudian guru di sebuah sekolah habis dan diganti oleh penjaga sekolah. Apa yang akan terjadi dengan sekolah? Apa yang akan terjadi dengan pembelajaran?

Kalau sudah penjaga sekolah yang mengisi kelas secara full time dan full day, anak-anak mungkin tak berkesempatan belajar lagi. mereka malah diminta bawa sapu dan bersih-bersih tiap hari.

Begitu pula kiranya andai di sekolah hanya ada kepala sekolah saja. Akibat kekurangan guru, kepala sekolah harus ikut mengajarkan materi yang sesungguhnya bukanlah bidang ajarnya.

Jika sudah seperti ini, maka boro-boro mau cerita tentang guru penggerak, kompetensi guru, hingga kepala sekolah penggerak. Ada sosok yang mengisi ruang kelas saja sekolah sudah beruntung.

Sejadinya, sudah pasti pemerintah lah yang menanggung dosa-dosa pendidikan. Ini baru guru, dan kita belum berbicara tentang fasilitas pendidikan, layanan pendidikan, serta kemudahan akses anak-anak untuk belajar. Saat ini, ketersediaan gurulah yang paling mendesak.

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerangkan bahwa total guru yang akan pensiun pada 2019-2023 ada sebanyak 316,5 ribu orang. Dan kita soroti adalah, pada 2019 dan 2020 masing-masing proyeksi pensiun sebanyak 39,1 ribu orang dan 46,9 ribu orang.

Proyeksi guru pensiun. Grafik: Katadata.co.id
Proyeksi guru pensiun. Grafik: Katadata.co.id

Berarti, jumlah guru yang harus direkrut pada akhir tahun 2020 atau awal tahun 2021 adalah 39,1 ribu + 46,9 ribu, jumlahnya adalah 86 ribu.

Tapi, lagi-lagi Pak Tjahjo mengatakan bahwa kemungkinan baru dibuka CPNS adalah pada tahun 2021. Alasannya, alokasi (kebutuhan PNS) belum bisa ditentukan dan beliau mau melihat dulu kebutuhan dan ketersediaan anggaran.

Soal anggaran, sangat jelas bahwa kita tak bisa bicara lebih banyak lagi. Tapi soal kebutuhan? Statistik di atas sudah cukup jelas dan menggambarkan betapa mendesaknya kebutuhan jabatan guru yang harus diisi oleh pemerintah.

Sejatinya perekrutan CPNS adalah jalan yang bagus untuk memenuhi kebutuhan ini. Apa lagi sejak diberlakukannya tes CPNS tahun 2018 dan tahun 2019. Karena semakin transparannya sistem perekrutan, banyak masyarakat yang merasa senang dan kita juga bisa bicara banyak tentang kualitas.

Sayangnya, rencana perekrutan CPNS tahunan ini sudah mandek di tahun keduanya, yaitu 2019. Alasannya? Corona, dan corona lagi. Kita cukup prihatin dengan kenyataan ini. Namun, kenyataan bahwa ruang kelas harus tetap terisi oleh guru juga tak bisa dilanggar.

Sebenarnya pemerintah sudah punya opsi perekrutan yang "lebih irit" anggaran dengan menghadirkan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Tapi, mirisnya eksistensi mereka juga diberhentikan oleh kekurangan anggaran dan corona.

Jadi, ujung-ujungnya ya kita pada pusing semua. Dan, menurut saya yang paling terasa pusingnya adalah kepala sekolah. Ya, bagaimana mungkin kepala sekolah tega melihat ruang kelas yang tidak ada gurunya. Kasihan anak-anak.

Pemerintah atau pemangku kebijakan tak sepenuhnya tahu tentang ini. Terlepas perjuangan mereka untuk mendapatkan anggaran serta mencoba sekuat tenaga melahirkan kebijakan yang tepat sasaran untuk guru, tetap saja kepala sekolah tak bisa menunggu lama.

Lalu, apa yang akan terjadi?

Jalan satu-satunya sudah pasti kepala sekolah akan merekrut guru honorer. Ya, mencari para guru-guru muda yang mau cari pengalaman dan rela digaji dengan honor seadanya. Ratusan ribu? Tak masalah, bagi guru honorer yang cari pengalaman, itu sudah cukup untuk disyukuri.

Meski begini, ada hal besar yang sangat disayangkan. Adalah ketidakjelasan karier sang guru honorer. Dulu, setahu saya jalan untuk mencapai PNS kalau tidak tes adalah dengan menambah pengalaman sebagai guru honorer.

Salah satu contohnya adalah bibi saya yang sekarang mengajar di Padang. Sebelum diangkat PNS, beliau terlebih dahulu menjalani petualangan sebagai guru honorer selama 8 tahun. Bayangkan, 8 tahun bukanlah waktu yang sebentar.

Sayangnya, kisah seperti ini tidak terdengar lagi di hari ini. Terbaru, pertolongan yang Mas Nadiem hadirkan untuk menunjang karier guru honorer adalah dengan memperbaiki kesejahteraan mereka melalui dana BOS.

Melalui Permendikbud Nomor 19 tahun 2020, Kemendikbud memberi keleluasaan bagi kepala sekolah untuk membayar gaji guru honorer menggunakan dana BOS dengan kelonggaran tanpa batas persenan selama masa pandemi.

Apakah ini sudah bagus? 

Lagi-lagi ini hanyalah kebijakan talangan alias kebijakan sementara yang tidak jelas ke mana muaranya.

Terang saja, walaupun dana BOS bisa dimaksimalkan untuk membayar gaji guru honorer, tetap saja pemasukan dana BOS bergantung pada jumlah siswa.

Bayangkan bila jumlah siswa di sekolah hanya puluhan orang. Berarti peningkatan gaji guru honorer hanya beberapa ribu rupiah saja, kan?

Maka dari itulah, pemerintah tak bisa terus-menerus menyusahkan para kepala sekolah dengan cara "memaksa" mereka merekrut guru honorer demi menutupi kekosongan ruang kelas. Bukannya tak perlu rekrut lagi, tapi sebaiknya guru honorer punya jalan dan arah karier yang jelas.

Atau, adakah jalan lain?

Seingat saya, tahun lalu sempat digencarkan isu penambahan masa pensiun bagi guru PNS. Dalam artian, guru PNS yang sudah pensiun dipersilakan mengajar lagi selama 5 tahun demi menutupi kekosongan ruang kelas dan kebutuhan guru.

Apakah ini jalan yang bagus? Tentu saja tidak. Seorang yang sudah berumur 60 tahun sudah pasti lelah, dan mungkin bosan harus terus menjadi mitra pemerintah. Mereka juga butuh istirahat karena secara fisik, umur yang kian senja tak efektif lagi untuk mengajar.

Dan dari sini, bukankah lebih baik guru honorer yang diberdayakan? Lagi-lagi jawabannya masih sama. Jikapun direkrut guru honorer, kejelasan karier mereka mau dibawa ke mana, dan bagaimana pula negeri ini mencari anggaran untuk menunjang kesejahteraan mereka.

Atas realita yang cukup pelik, gusar, ambar dan menghadirkan kegalauan ini, agaknya pemerintah perlu mencari solusi terbaik demi mewujudkan pendidikan yang berkemajuan.

Di sana berbicara kekurangan guru, di sini berbicara tentang kompetensi guru, dan di situ berbicara tentang kesejahteraan guru. Rasanya semua hal ini sangat berhubungan. Ada faktor sebab-akibat yang tak bisa dihindari dan hal itu berasal dari kebijakan pemerintah itu sendiri.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun