Belum lama ini perhatian kita cukup teralihkan oleh pernyataan Pak Jokowi yang jengkel karena kinerja beberapa menterinya dianggap biasa-biasa saja. Tak berhenti di sana, kejengkelan ini pun berimbas pada naiknya isu reshuffle alias perombakan menteri kabinet kerja.
Jika ditimbang-timbang lagi, agaknya alasan naiknya isu reshuffle ini cukup krusial karena Pak Jokowi sendiri menganggap bahwa beberapa mitra kerja di kabinetnya kurang memiliki sense of crisis. Dituntut extraordinary, tapi nyatanya masih santai alias biasa-biasa saja.
Dari sinilah kemudian isu reshuffle itu semakin memanas. Ada isu liar tentang rekomendasi calon menteri baru, ada isu kepasrahan menteri, bahkan ada pula tuntutan agar Pak Jokowi segera mengevaluasi para menterinya.
Dan, yang salah satu menteri yang juga menjadi sorotan publik saat ini adalah Mas Nadiem selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Sejatinya dalam sidang paripurna yang digelar pada 18 Juni 2020 kemarin Pak Jokowi tidak menyinggung Mas Nadiem, tapi karena situasi pandemi Covid-19 saat erat hubungannya dengan sektor pendidikan maka sang Mendikbud tidak akan bisa lari dari sorotan.
Bagaimana mau lari jika masalah dalam pendidikan terus berdatangan. Contohnya saja, seperti PPDB di DKI Jakarta. Gara-gara muncul aturan PPDB yang bersyaratkan usia, berlinanglah air mata para orangtua.
Bahkan, karena krusialnya masalah pendaftaran ini, para orangtua pun harus melakukan aksi demonstrasi ke gedung Kemendikbud. Padahal, semestinya diurus ke Kadisdik daerah setempat saja bisa cepat dituntaskan.
Ini malah sebaliknya, masalah PPDB sebiji provinsi saja sampai masuk dalam radar Komisi X DPR dan KPAI. Kasihan kita dengan 33 provinsi lain yang sejatinya juga butuh perhatian seperti dalam urusan perbaikan server serta kemudahan birokrasi.
Semakin ke sini, tampaknya perbaikan pendidikan semakin jauh untuk digapai. Memang tidak terpungkiri bahwa pandemi telah membuka mata Mas Nadiem dan kita semua tentang kesenjangan kualitas pendidikan di pusat dan di daerah.
Buktinya? Adalah kekagetan beliau beberapa bulan lalu. Tak terbayangkan oleh kita, kok bisa-bisanya menteri harus kaget dengan masalah turun-temurun di bidang pendidikan.
Darinya, wajar bila kemudian banyak pelaku pendidikan ikut jengkel dengan sang Mendikbud.
Lebih dari itu, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fajar Junaedi juga menganggap bahwa Pak Jokowi juga jengkel lantaran ada menteri yang membuat pernyataan publik yang menunjukkan tidak menguasai pemetaan masalah.
"Kita ingat saat Mendikbud menyatakan kekagetannya bahwa di daerah ada siswa yang tidak ada akses internet untuk pembelajaran. Pernyataan seperti ini kan menunjukkan bahwa menteri tidak menguasai pemetaan masalah," ucap Fajar, Senin (29/06/2020).
Hanya saja, dari kekagetan ini apakah kemudian ada respon yang gesit? Lagi-lagi kalau kita sudah berbicara tentang pemerataan fasilitas pendidikan, rasanya pikiran ini akan semakin berat karena pemerataan adalah masalah kronis tahunan.
Persoalan sinyal internet hingga listrik bukanlah persoalan yang bisa Mas Nadiem selesaikan sendiri walaupun sudah bersama-sama dengan Kemendikbud. Kebijakan yang hadir seperti asupan kuota juga belum sepenuhnya mampu mendukung kelancaran PJJ.
Dan lebih dari itu, pengamat pendidikan Darmaningtyas juga menuangkan opini bahwa Mas Nadiem tidak mempunyai konsep. Sejak awal sosok Nadiem diragukan terutama dalam menjalankan amanah terkait pendidikan karakter.
"Bahkan di saat pandemi ini, Kemendikbud tidak mempunyai data yang membantu seperti seberapa banyak guru honorer yang terkena dampak," ujar Darmaningtyas, Selasa (30/06/2020).
Begitulah kiranya keruwetan masalah di sektor pendidikan dalam suasana pandemi ini. Seiring dengan kasus Covid-19 yang masih bermunculan, opsi belajar dari rumah dengan sistem pembelajaran jarak jauh kembali akan diterapkan. Dan, sekolah butuh kurikulum darurat.
Apakah sudah diterbitkan? Sudah sejak beberapa bulan lalu berbagai organisasi pendidikan meminta agar Mas Nadiem menerbitkan kurikulum darurat, tapi yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Kemendikbud barulah buku saku.
Tidak jauh beda, permasalahan di sektor pendidikan tinggi juga cukup mengerutkan kening kita semua. Lagi-lagi pandemi memberikan pengaruh yang luar biasa hingga muncullah tuntuan mahasiswa agar UKT kuliah dipotong.
Sampai di sini, mulailah muncul kebingungan di alam pikir kita. Seperti apa kebijakan Merdeka Belajar maupun Kampus Merdeka yang sejatinya digaungkan oleh sang Mendikbud di awal-awal masa pemerintahannya?
Salah satu cendekiawan muslim, Azyumardi Azra memberikan rapor merah kepada Mas Nadiem dan mengganggap beliau bersama Kemendikbud hanya menabur angin surga.
"Nadiem belum berhasil, raportnya masih merah. Sama dengan beberapa para menteri yang lain, kebanyakan angin surga. Saya percaya kita berdiri di kaki kita sendiri. Sekarang ini banyak trik dan gimik. Secara substantif raportnya merah," ucap beliau, Kamis (2/7/2020).
Dari berbagai tuangan masalah pendidikan di situasi pandemi hari ini, kiranya cukup layak bila rapor merah dan janji-janji yang semanis angin surga disematkan kepada Mas Nadiem.
Hal ini kemudian kembali mengingatkan kita kepada kewajaran bahwa Mas Nadiem memang belum begitu dekat dengan pendidikan.
Wajar bila Mas Nadiem kaget, karena beliau bukan praktisi pendidikan. Dan wajar pula bila Mas Nadiem bingung, karena beliau belum "jalan-jalan" di lapangan. Akhirnya, kewajaran inilah yang kemudian memunculkan keraguan atas kinerja Mas Nadiem ke depannya.
Kebetulan pula saat ini wacana reshuffle cukup keras didengungkan. Menimbang permasalahan sektor pendidikan yang belum kunjung mendapatkan penilaian "baik", maka Mas Nadiem juga mesti extraordinary dalam bekerja.
Adanya anggapan bahwa Mas Nadiem bersama Kemendikbud hanya sedang menabur angin surga adalah imbas dari belum tampaknya perbaikan di bidang pendidikan.
Sebagai seorang Mendikbud, sudah semestinya komitmen akan janji-janji pendidikan dipertegas dengan keseriusan dan tindakan cepat-tanggap terhadap masalah-masalah pendidikan yang krusial.
Sama halnya seperti guru, baik Mas Nadiem maupun Kemendikbud harus banyak aksi, banyak komunikasi, dan banyak memunculkan solusi. Kecuali kalau mereka adalah pengamat pendidikan, itu beda lagi.
Jadi, bergegaslah, Mas Nadiem. Jika masalah pendidikan terus dibiarkan merajalela, nanti kredibilitas Mendikbud akan melayang pergi.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H