Jelang dimulainya tahun ajaran 2020/2021, agaknya banyak sekolah yang sedang sibuk mencari peserta didik baru melalui PPDB. Entah itu PPDB secara online maupun offline, tiap-tiap sekolah berjuang untuk memberikan layanan pendidikan terbaik kepada calon anak didiknya.
Sayangnya proses penerimaan peserta didik baru di beberapa daerah belakangan ini tidak berjalan mulus. Berbagai kendala baik dari sisi kebijakan maupun kondisi server mulai muncul dan melahirkan keresahan di hati para orangtua.
Salah satu contohnya adalah PPDB sistem zonasi di DKI Jakarta. Gara-gara ada aturan tentang batas usia, akhirnya ratusan orangtua yang tergabung dalam Gerakan Emak dan Bapak Peduli Pendidikan dan Keadilan (GEPRAK) menggelar demo di Balai Kota Jakarta.
Mereka meminta agar Pak Anies Baswedan menghapus aturan usia pada PPDB DKI Jakarta karena khawatir anak-anaknya tak bisa bersekolah SMP/SMA negeri yang dituju. Dulunya waktu masuk SD/SMP negeri lancar-lancar saja, tapi sekarang malah bermasalah.
Rasanya kita sebagai masyarakat cukup gusar dengan polemik ini. Bagaimana tidak, beberapa bulan belakangan kita sudah kerepotan menata isi dompet demi memerangi pandemi Covid-19, masa iya harus ditambah lagi dengan keresahan tentang sulitnya masuk sekolah negeri.
Syahdan, PPDB di Jawa Barat juga ikut bermasalah. Kali ini gara-gara sistem PPDB yang dinilai tidak transparan, jaringan internet buruk, serta kurangnya sosialisasi.
Puncaknya, Puluhan orangtua siswa yang tergabung dalam Ketua Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) kemudian mendatangi Kantor Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jawa Barat (Jabar) untuk meminta pertanggungjawaban.
Barangkali kita cukup bingung dan panas kepala atas polemik PPDB yang hadir di tengah pandemi ini. Sebenarnya salah satu solusi terbaik dari masalah PPDB ini adalah, cukup dikembalikan saja kepada Permendikbud No. 44 tahun 2019 yang sudah berlaku sebelumnya.
Juknis yang tertuang dalam Permendikbud ini sudah cukup jelas karena seleksi PPDB diatur menurut jalur zonasi, afirmasi, perpindahan tugas, hingga prestasi. Semua jalur ini didasarkan atas berdasarkan prinsip nondiskriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Tapi biar bagaimanapun keadaannya, saya kira sekolah-sekolah negeri yang sedang tertimpa masalah PPDB ini masih cukup beruntung. Mengapa?
Karena sampai ada ratusan orangtua yang demo, berarti sudah ada jaminan bahwa jumlah siswa baru yang mendaftar akan banyak dan bahkan membludak, kan?
Tentu saja, dari sini semestinya sekolah negeri yang mendapat banyak siswa bersyukur. Jika banyak siswa yang mendaftar maka persaingan akan lebih kompetitif, dan yang terpenting adalah asupan Dana BOSnya akan lebih tebal.
Beda dengan sekolah-sekolah negeri yang letaknya di pelosok, yang di setiap desanya ada satu sekolah negeri. Boro-boro mau bicara tentang orangtua siswa yang mendemo sistem PPDB, ada siswa yang mendaftar saja kami sudah sangat beruntung.
Terang saja, jika suatu saat di tahun ajaran baru sekolah negeri tidak mendapat seorang pun siswa, maka peluang regrouping sekolah akan semakin besar. Kalau sudah seperti itu, kan kasihan gurunya harus terobang-ambing dan kebingungan mencari lahan mutasi.
Gara-gara Pandemi, Kami Kesusahan Mencari Peserta Didik Baru
Beda halnya dengan keadaan sekolah-sekolah negeri lain yang sibuk dengan aktivitas PPDB online dan banyaknya calon peserta didik yang mendaftar, sekolah kami --salah satu SD Negeri di Kab. Kepahiang, Bengkulu- malah sedang berjuang keras untuk mencari siswa baru.
Bukan karena masalah sistem PPDB, bukan karena masalah server, kesusahan ini datang gara-gara pandemi, minimnya fasilitas sekolah, serta lokasi sekolah yang cenderung pelosok.
Satu sekolah negeri untuk satu desa plus ada 1 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di antara tiga desa, agaknya cukup susah bagi sekolah negeri jika harus menyaingi MIN.
Terkait berbagi jumlah siswa baru rasanya sekolah bisa berkoordinasi dengan desa untuk mengajak para orangtua mendaftar sekolah negeri di desanya saja. Tapi kalau soal persaingan dengan MIN? Toh, Madrasah tidak menerapkan sistem zonasi layaknya sekolah negeri.
Bisa gawat, kan?Â
Tambah lagi sejak awal tahun ini Bumi Pertiwi sudah diserang oleh pandemi, keadaannya malah makin susah. Tahun kemarin saja kami hanya mampu mendapatkan 2 orang murid.
Sedangkan tahun ini, gara-gara corona akhirnya berbagai rencana sosialisasi kami kandas di tengah kisah.
Ya, dulu tepatnya pada bulan Maret 2020 kami berencana mengadakan sosialisasi ke beberapa lembaga PAUD di dekat desa dengan cara menggelar lomba mewarnai di mana SD kami jadi tuan rumahnya. Tapi rencana ini gagal total akibat pandemi.
Setelah rapat dengan dewan guru dan kepala sekolah dua minggu yang lalu, dihadirkanlah solusi menjaring peserta didik baru dengan cara "jemput bola" alias dibebankan kepada guru-guru yang rumahnya dekat dengan sekolah.
Mau bagaimana lagi, sistem PPDB secara online tidak mungkin bisa kami gelar karena kendala jaringan internet di desa yang suka hilang timbul. Apalagi di lokasi SD kami, sinyal internet hanya akan muncul sesekali, itu pun atas bantuan angin yang sedang lewat.
Meski sudah didapatkan solusi untuk mendapatkan peserta didik baru, kesulitan nyata lainnya yang kami hadapi adalah minimnya fasilitas sekolah.
Menurut dewan guru setempat, orangtua lebih memilih menyekolahkan anaknya ke MIN karena MIN punya fasilitas drum band. Lalu, apakah SD kami juga punya drum band?
Sayangnya tidak, dan kami malah tambah ambyar gara-gara kepala sekolah menutup rapat dengan kalimat sendu:
"Sekolah kita ini punya visi dan misi yang hebat, tapi kenyataannya isi dompet sekolah sebentar-sebentar suka melarat!"
Ya, mau bagaimana lagi. Hitung-hitungannya memang begitu. Makin banyak peserta didik yang mendaftar, makin banyak pula asupan Dana BOS yang masuk untuk menunjang kelengkapan fasilitas sekolah.
Hanya saja, semangat juang terus kami hadirkan untuk kemajuan SD ini. Data terakhir, salah satu guru senior (Pak Yaman) menyampaikan bahwa sudah ada 5 orang anak yang hampir pasti akan mendaftar di sekolah kami. Alhamdulillah.
Kami cukup optimis para pendaftar akan lebih banyak karena di tahun ini rasa dan nuansa SD sudah berbeda. Ya, sudah ada 3 guru muda profesional yang siap ikut serta mencerdaskan anak-anak bangsa di pelosok. Hebatnya, masyarakat setempat menyambut positif kehadirannya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H