3 besar kesulitan itu adalah soal penggunaan bahasa, soal memilih kata dan kalimat saat mengajar, serta peletakan "batu pertama" karakter dan ilmu kepada siswa.
Kesulitan Pertama: Penggunaan Bahasa
Saat pertama kali tiba di SD pada bulan April 2019 lalu, saya sempat berpikir bahwasannya tidak akan ada kesulitan yang berarti tentang penggunaan bahasa siswa pada waktu belajar di kelas. Terang saja, mereka kan dulunya pernah TK!
Tapi nyatanya? Pertama kali masuk dan mengajar di kelas I dan II saya dibuat kacau oleh berbagai percakapan serta pertanyaan siswa yang menggunakan bahasa daerah, bahasa Serawai saat itu.
Walaupun bahasa ini cukup familiar di provinsi Bengkulu dan beberapa kalimatnya cukup bisa dicerna, tetap saja saya kebingungan menebak-nebak arti dari kata Keting (kaki), Kinak (lihat), Ngajung (menyuruh), serta Sutiak (satu) yang sering diucapkan anak-anak.
Sesekali saya tidak segan bertanya "Bahasa Indonesianya apa ya?" kepada mereka.Â
Kalau pertanyaan itu saya lempar ke kelas II, mereka biasanya menjawab. Tapi kalau ke kelas I? Anaknya malah diam saja, bahkan ikut bingung dengan apa yang saya ucapkan. Hahaha
Gara-gara pengalaman yang menantang ini, akhirnya saya mulai menyibukkan diri mempelajari bahasa Serawai.Â
Cukup sulit memang, bahkan lebih mudahlah belajar Bahasa Inggris. Tapi tak mengapalah, yang penting perlahan-lahan bisa menguasai.
Dari sinilah kemudian saya menyadari bahwa memahami bahasa daerah itu sangat penting bagi seorang guru. Nah, tantangan beratnya adalah selain harus mengetahui tentang bahasa Serawai, saya juga harus membiasakan anak-anak untuk fasih dan lancar berbahasa Indonesia.
Ini kesulitan besar, bukan? Tentu saja. Guru di SD pelosok hampir seperti dua kali kerja. Jadi, semangatnya juga harus dua kali lipat daripada guru SD di kota-kota besar.