"Sabar, bang. Kita berbuka dulu, deh. Nanti malam, abang jangan lupa ya. Harus ikut takbiran. Pake mikrofon, oke!"
Falisha mengangkat tangan kanannya seraya menunjukkan kode "oke" kepadaku. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Harapan Falisha kepadaku begitu tinggi. Malahan, mataku jadi salah fokus gara-gara melihat cincin indah yang melingkar di jari manisnya.
Ya, aku jadi teringat masa-masa awal kita bertunangan. Waktu itu, tepatnya tanggal 24 Agustus 2019 aku telah berjanji sepenuhnya kepada sang Ibunda agar terus menjaga dan melindungi Falisha, hingga nanti. Sampai kode restu itu tiba.
Beruntung tadi Falisha terucap kata "takbiran" sehingga aku masih bisa menggerakkan separuh mata tanda mengiyakan, sembari berjalan menuju tempat duduk di sampingnya.
Aku malah berpikir, mungkin Falisha rindu dengan irama Nahawand yang sering kugaungkan saat azan dan Qira'ah.
Sebenarnya, gara-gara irama Nahawand itu jugalah sang Ibunda Falisha membolehkanku bertunangan dengan anak gadisnya. Kalau saja aku tak pandai mengaji, mungkin sudah ditolak mentah-mentah oleh Ibunda. Jujur saja, dari segi fisik aku sangat jauh dari kata sempurna.
***
"Bang, ini es oyennya sudah selesai. Totalnya Rp30.000."
Cepat sekali pesanannya selesai. Perasaanku kita baru saja datang dan aku baru saja duduk. Tapi wajar, sih. Sang gadis penjual es oyen hanya tinggal menuangkan batu es dan sirup, lalu membungkusnya. Cuma 5 bungkus es oyen, berarti akunya saja yang terlalu lama berkhayal.
"Bang Alzam, kok diam saja, sih. Tadi kan aku sudah teriak bahwa hilal telah tampak!"
Aku kaget bukan kepalang. Perasaanku, dugaanku, dan keyakinanku, hilal yang dimaksud oleh Falisha adalah lebaran esok hari. Benar, bahkan aku meyakininya hingga 100%. Bagaimana mungkin aku salah dalam menebak, toh sudah 6 tahun kita berlabuh.