Mei 2020, agaknya di bulan ini cukup banyak peringatan hari-hari penting yang sudah kita lalui bersama. Mulai dari momentum Ramadan, Hari Buruh Internasional, Hari Pendidikan Nasional, Hari Raya Waisak 2564, sampailah peringatan Hari Buku Nasional pada 17 Mei kemarin.
Sedangkan hari ini, tibalah kita pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-112 tanggal 20 Mei tahun 2020 dalam suasana bulan Ramadan yang mulia.Â
Tapi? Masih dalam hawa sepi akibat jajahan alias serangan pandemi Covid-19.
Nyatanya akhir-akhir ini negeri kita dibuat gemetar oleh wabah yang berjuluk SARS-CoV-2. Segala aspek diserang mulai dari stabilitas ekonomi, ketahanan pangan, keselamatan, hingga keamanan.
Bahkan, hati warganet pun ikut terserang seiring dengan diviralkannya teriakan solidaritas yang bertagarkan "Indonesia Terserah" baru-baru ini. Begitu hebatnya Covid-19 mengguncang bumi Pertiwi dari segala penjuru.
Memang, kita sudah cukup lama berjuang melawan jajahan Covid-19. Berbagai kebijakan dikeluarkan, tapi berbagai pelanggaran juga didengungkan. Rasa demi rasa, tampaknya pelanggaran ini sudah mirip dengan perpecahan bangsa dari aspek kepedulian sosial.
Masyarakat di sana berjuang untuk mematuhi PSBB, social distancing, physical distancing, bahkan WFH. Tapi, masyarakat di lain tempat tidak terlalu peduli dengan kepatuhan. Pemerintah juga demikian, tarik ulur kebijakan yang dikeluarkan seakan jadi bumerang.
Gara-gara itu, pihak yang sudah disiplin dan mereka yang berjuang lebih merasa cukup kecewa. Kecewa dengan pemerintah, kesal dengan masyarakat yang enggan disiplin, serta prihatin dengan grafik kasus Covid-19 yang masih menjulang.
Kalau dihitung secara umum, agaknya negeri ini sudah terpecah menjadi 3 bagian. Pertama, pemerintah dengan segala kebijakannya. Kedua, masyarakat yang disiplin termasuklah paramedis dan kelompok peduli sosial. Ketiga, masyarakat yang enggan untuk disiplin.
Kebetulan hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional, bagaimana cara kita menyatukan 3 pihak yang terpecah? Setiap pihak punya alat tafsir dan senjata mereka masing-masing. Sebelum ada tindakan "saling bunuh" rasanya kita perlu mundur ke zaman Budi Utomo.
Budi Utomo, Penyatu Perbedaan, Perluaskan Kesadaran
20 Mei 1908, itu adalah tanggal bersatunya para pemuda yang peduli dengan bangsa. Pemuda yang merupakan kumpulan pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) ini punya visi menyatukan identitas bangsa agar berjalan pada tujuan yang sama.
Diketuai oleh R. Soetomo, terbentuklah organisasi yang diberi nama "Perkumpulan Budi Utomo." Masa itu adalah masa perjuangan yang berat karena selain ditentang oleh pemerintah, para pemuda juga berusaha untuk menyatukan sukuisme yang sebelumnya beraroma kerajaan.
Maka dari itulah, ditunjuk kaum tua untuk memimpin organisasi. Bahkan, demi mengejar cita-cita mulia dengan ungkapan "Punika satunggaling padamelan sae sarta nelakaken budi utami" (Ini merupakan perbuatan baik serta mencerminkan keluhuran budi), pemuda rela berkorban.
Mereka menjual arloji, kain panjang, ikat kepala, dan menyumbangkan tunjangan pribadi untuk bulan puasa demi membiayai kongres pertama Boedi Oetomo yang diselenggarakan di bulan puasa pada 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta.
Jika kita sandingkan dengan pandemi hari ini, samalah kiranya dengan perjuangan berbagai profesi yang rela dipotong tunjangan kinerjanya demi membiayai penanganan Covid-19. Semoga saja kerelaan itu benar-benar ikhlas setulusnya.
Artinya, ada peran luar biasa yang digagas oleh para pemuda. Bukan sekadar gerakan militan melainkan gerakan perlahan yang menyatukan kaum muda, kaum tua, dan juga pemerintah. Inilah yang dimaksud sebagai perluasan kesadaran, yaitu menyatukan visi tanpa menyeruduk.
Bangkitlah Duhai Indonesia, Menangkan Negeri Ini dari "Jajahan" Covid-19
Sejatinya, setiap tahun, setiap windu, dan setiap dasawarsa permasalahan tentang kesadaran umat dalam negeri selalu mengudara. Ada-ada saja oknum yang melantunkan kerusuhan dan berusaha memecah-belah persatuan.
Semua aspek baik politik, ekonomi, pemerintahan, keamanan, bahkan pendidikan ikut memengaruhi. Apalagi Indonesia merupakan negara yang amat luas. Darinya, peluang negeri ini "terjajah" oleh perbedaan prinsip kesatuan sangatlah mungkin.
Tapi, dari perbedaan-perbedaan itu kita bisa selalu bangkit dan bersatu. Seiring dengan tumbuhnya kedewasaan, persoalan beda suku sudah jarang memunculkan sukuisme. Begitu pula dengan perbedaan agama. Baru saja bulan ini Ramadan dan Waisak berjalan beriringan.
Itu adalah kabar baik bagi Indonesia sekaligus bisa kita jadikan pijakan untuk berteriak tentang solidaritas berskala nasional, di bawah payung NKRI.
Konteks persoalan hari ini adalah Covid-19 yang seakan sudah berhasil menjajah negeri. Kita tidak perlu terus bersedih dan berpilu hati karena wabah. Kebangkitan nasional yang diperingati hari ini tetap bisa kita jadikan momentum untuk bersatu memerangi pandemi.
Mengenai siapa yang berhak jadi pemuda maupun pelopor kebangkitan bangsa, kita tidak perlu saling tunjuk karena semua pihak pantas untuk dijuluki pelopor. Pemuda, asal mereka bergabung dan bersatu-padu menggaungkan aksi solidaritas dan peduli, maka itulah pelopor.
Kaum tua, asal mereka bijak untuk bersikap dan memecahkan masalah pandemi (seperti mengakui bahwa dirinya tak layak dapat bansos dari pemerintah), maka itu juga pelopor.
Begitu pula pemerintah. Selama mereka para pejabat tinggi berani memunculkan ketegasan sebagai payung dari kebijakan-kebijakan yang bijaksana untuk memerangi Covid-19, maka mereka juga pelopor, pelopor bangsa dalam memenangkan negeri dari jajahan wabah.
Dalam hal ini, baik para pemuda, kaum tua maupun pemerintah harus bersatu dan berjalan satu arah. Para pemuda dan kaum tua perlu bekerja sama dengan pemerintah untuk memberantas Covid-19. Tapi, pemerintah juga tidak bisa buru-buru dan asal keluarkan kebijakan.
Sebaiknya kita gunakan semboyan "biar lambat asal selamat daripada hidup sebentar mati tanpa bekas" dalam prinsip Budi Utomo. Perkumpulan ini mengibaratkan kesabaran dalam berjuang seperti tumbuhnya pohon beringin.
Beringin hidupnya lambat, dengan sabar, tetapi semakin lama semakin bertambah besar dan apabila sudah besar berdiri kokoh dan rindang. Endingnya, beringin dapat memberi keteduhan bagi siapa pun yang ada di bawahnya.
Begitulah sebaiknya kebijakan yang lahir dari pemerintah untuk rakyatnya. Terkait dengan memenangkan diri dari jajahan Covid-19, pemerintah perlu bersabar untuk melahirkan kebijakan, dan bersabar pula untuk memetik hasil dari kebijakan.
Sebelum Covid-19 mereda, kurang etis kiranya jika harus ada tarik ulur kebijakan. Apalagi sampai memunculkan persaingan antar pejabat. Bukannya menyehatkan, malah melahirkan kekecewaan seperti yang diungkapkan oleh warganet dengan tagar "Indonesia Terserah."
Pihak pemuda dan masyarakat pada umumnya juga demikian. Sebagai pihak yang dikenai kebijakan, sebaiknya segeralah dimunculkan rasa solidaritas, kesatuan, dan kesamaan identitas yang bernama NKRI untuk memerangi Covid-19.
Semangat kebersamaan nasional tidak boleh putus meskipun kita semua duduk bersama fakta keterbatasan untuk bertemu dalam keramaian. Sejatinya, para pemudalah yang bertanggungjawab untuk menggaungkan semangat itu dengan beragam aksi.
Bisa lewat gerakan berbagi, menulis konten-konten yang positif, berhenti menyebar hoaks, hingga memberikan edukasi yang positif tentang wabah Covid-19. Sungguh, kegiatan-kegiatan positif sangat diperlukan untuk memberikan rasa aman terutama bagi masyarakat awam.
Beruntungnya, dalam hitungan hari kita akan bernaung di bawah teduhnya pohon. Bukan hanya pohon beringin melainkan juga pohon yang bernama hari raya Idul Fitri alias lebaran.
Idul Fitri adalah hari kemenangannya umat muslim, hari kemenangan untuk kembali fitrah, serta hari puncaknya rasa syukur kepada Allah SWT.
Karena momentum Harkitnas 2020 sudah kita rekatkan dengan harapan persatuan bangsa untuk memenangkan negeri dari jajahan Covid-19, maka semoga saja di hari raya nanti kita juga bisa menyatukan visi seluruh umat agar mau sama-sama berjuang untuk mengusir pandemi.
Lebaran sebentar lagi, sudah saatnya para pemuda, orang tua, dan pemerintah berbenah diri. Kita selalu rindu masa-masa di mana seluruh rakyat bisa bebas hidup dalam keramaian. Hingga saat ini, seluruh pihak terus memperjuangkan itu. Mari, kita gapai kemenangan.
Salam.
Ditulis pada Hari Kebangkitan Nasional. Curup, 20 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H