"Serangan" Kenyataan kedua, Pak Iwan dihadapkan dengan persoalan para guru honorer yang lolos seleksi PPPK 2018-2019 tapi belum kunjung diangkat, bahkan masih terkatung-katung nasibnya.
Terang saja, sebagai sosok pengabdi sudah kenyang makan asam-garam di sekolah, para guru honorer yang sudah lulus PPPK butuh kepastian dan rasa aman terkait masa depan karir mereka. Bayangkan bila kepastian itu malah digantung, tentulah mereka makin sedih.
Padahal, jika kita hubungkan antara gelombang ancaman guru PNS pensiun tadi, opsi perekrutan PPPK cenderung lebih "aman" jika diukur dari segi pembiayaan daripada pemerintah harus menggelar tes CPNS baru.
Sebenarnya, lebih "aman" lagi jika pemerintah terlebih dahulu mengangkat guru-guru yang sudah belasan tahun mengabdi untuk diangkat menjadi PNS. Selain untuk menegaskan adanya kejelasan karir para guru honorer, pengalaman mereka juga bisa jadi pertimbangan utama.
"Serangan" Kenyataan ketiga, Dirjen GTK lama dianggap kurang responsif menjawab persoalan guru atas tuduhan belum kompeten mengelola pembelajaran jarak jauh masa pandemi Covid-19.
Pak Satriawan menambahkan bahwa harusnya GTK langsung mengintervensi, bukan lagi hanya sekadar mengeluarkan Surat Edaran yang implementasinya ternyata belum maksimal bahkan terdistorsi.
Jika kembali kita tilik ke lapangan, cukup benar apa yang disampaikan oleh Pak Satriawan bahwa peran Surat Edaran yang dikeluarkan Kemendikbud terkait dengan kegiatan pembelajaran dari rumah belum begitu maksimal.
Yang jadi sorotan adalah Dinas Pendidikan di daerah. Terang saja, jika pemerintah pusat melalui Kemendikbud hanya mengeluarkan Surat Edaran, kerja Dinas Pendidikan di daerah juga hanya meneruskan penyampaian Surat Edaran sebagai tindak lanjut dari sosialisasi.
Dampaknya akan terasa sangat nyata bila Dinas terkait mengampu desa-desa yang non-sinyal dan kesusahan menggelar pembelajaran daring. Guru-guru mengharapkan ada solusi cepat yang dimulai dari Dinas setempat, tapi solusi itu tak kunjung datang.