Tidak bisa kita pungkiri bahwa setiap insan yang memijaki bumi Indonesia begitu ingin menatap cerahnya wajah pendidikan. Dari dulu hinggalah sekarang, semua cita-cita dan teriakan masih sama yaitu "Menuju Pendidikan yang Lebih Baik."
Menariknya, semua kalangan ikut berbaris dalam teriakan itu. DPR teriak, Mas Menteri berkoar, begitu pula dengan guru, orang tua hingga siswa di berbagai penjuru Indonesia. Semuanya ingin teriak lebih keras untuk mewujudkan kemerdekaan belajar.
Berarti, pendidikan kita sekarang belum baik? Terlalu sakit jikalau saya jawab belum baik. Mendingan kita jawab, menuju pendidikan yang lebih baik.
Terang saja, para pemangku kebijakan pendidikan sudah berkorban, pelaku pendidikan juga begitu. Sedikit banyaknya keringat ketulusan yang dicurahkan untuk pemantapan pendidikan selalu patut untuk kita apresiasi.
Bukti sederhana, dulu di tahun 2017 Pak Jokowi bersama Kemendikbud dan Pak Muhadjir menggaungkan 5 nilai karakter utama yang bersumber dari Pancasila yang menjadi prioritas pengembangan gerakan penguatan pendidikan karakter.
Urutannya yaitu religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan kegotongroyongan. 5 nilai sekaligus pilar utama karakter ini tidak bisa dipisah, melainkan berinteraksi satu sama lain, berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi.
Sedangkan baru-baru ini di tahun 2020, pemerintah melalui Mas Nadiem menambah profil alias karakter utama pelajar Indonesia menjadi 6 butir.
Urutannya, bernalar kritis dan dapat memecahkan masalah, mandiri, kreatif, punya sikap gotong-royong, sikap kebhinekaan, serta berakhlak mulia.
Dalam rentang waktu 3 tahun, bertambah 1 profil karakter. Apakah ini sebuah reformasi sederhana? Dari sisi jumlah butir nilai karakter, okelah bertambah 1. Tapi, yang sedikit menjadi sorotan adalah, mengapa nilainya kok berubah. Padahal sama-sama program penguatan karakter.
Di tahun 2017, nilai religius diletakkan pada urutan pertama, sedangkan di tahun 2020 nilai "religius" berasa hilang dan diganti oleh "bernalar kritis." Mungkin tepatnya tidak hilang melainkan masuk ke dalam nilai "berakhlak mulia." Tapi, apakah tidak salah urutan?
Tajuknya saja adalah pendidikan karakter, bukankah nilai utama yang menjadi cover karakter seperti "berakhlak mulia" harus dinomor-satukan? Mungkin terlalu jauh jika saya mengumbar-umbar urutan nilai yang sejatinya tidak melulu mencerminkan esensi.
Hanya saja, baik saya maupun saudara-saudara para pelaku pendidikan yang peduli dengan keberadaban bangsa ini cukup prihatin dengan degradasi karakter generasi penerus bangsa. Ada perundungan, kekerasan seksual, hura-hura, tebar syahwat di medsos, dan lain-lain.
Semua fakta-fakta miris ini begitu menggoyah perasaan sekaligus melahirkan prasangka yang tidak ringan. Tajuknya pendidikan karakter, muatannya juga karakter, jalannya sudah lebih dari 5 tahun, tapi mengapa ada kesenjangan yang begitu besar antara tajuk dan fakta di lapangan?
Di sinilah kemudian kita butuh dengan yang namanya reformasi pendidikan. Desain pendidikan karakter perlu dibedah, nilai para pemangku kebijakan perlu dibedah, kompetensi guru perlu dibedah, dan kesenjangan pendidikan dari segi infrastruktur juga wajib dibedah.
Begitu pula dengan perbaikan 8 Standar Nasional Pendidikan. Mulai dari standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, hingga penilaian pendidikan, semuanya butuh pencerahan, bukan malah sekadar jadi kitab akreditasi semata.
Kalau saja 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP) ini hanya dijadikan kitab akreditasi, susah kiranya untuk kita sandingkan kepada profil pelajar Indonesia 2020 yang memiliki pilar utama karakter Pancasila.
Tambah lagi di tengah pandemi saat ini, "gercep" alias gerak cepat pendidikan tidak lagi bersandar pada efektif atau tidaknya pembelajaran. Yang penting, masih bisa belajar walau dalam kondisi apapun dan di posisi manapun.
Mirisnya, di tengah wabah pun masih ada kebobrokan karakter yang diviralkan oleh generasi muda kita. Kemarin ada aksi "buka-bukaan" via medsos, dan baru-baru ini ada aksi corat-coret seragam yang sudah di luar batas kewajaran. Malu kita sebenarnya, tapi inilah wajah kita.
Reformasi Pendidikan, Mendingan Melompat atau Berlari?
Sedikit ada kelucuan (dalam artian positif) saat membaca kembali pesan Pak Jokowi yang disampaikan kepada Mas Nadiem terkait dengan Merdeka Belajar. Pak Jokowi berharap lebih atas kemampuan Mas Mendikbud yang sudah pro soal digitalisasi.
"Mandat Presiden Joko Widodo adalah kita harus lompat melalui digitalisasi. Dan itu membutuhkan paradigma baru di dunia pendidikan, baik pendidikan menengah ke bawah dan pendidikan tinggi. Di mana fokusnya adalah kepada kreativitas, computational logics, dan juga fokus kepada berkarya," jelas Mas Nadiem secara telekonferensi di Jakarta, Rabu (6/5/2020).
Saat membaca kata "lompat," khayalan pertama yang berlarian di sudut-sudut pikir saya adalah, bagaimana caranya mengajak sekolah kami serta sekolah lain (3T) yang masih miskin sinyal untuk melakukan lompatan digitalisasi.
Terang saja, menimbang perbandingan infrastruktur, kualitas SDM, hingga soal pengembangan sistem ekonomi sudah tentu sekolah 3T kalah jauh dengan sekolah-sekolah model di pusat.
Bisa dibayangkan kira-kira berapa jauh jarak yang harus dilompati berdasarkan titik awal sekolah 3T berdiri. Selain itu, karena nadanya adalah melompat, berarti langkah kaki haruslah panjang.
Pertanyaannya, dengan berbekal kesenjangan kualitas tadi apakah 3T mampu melakukan lompatan lebih jauh?
Jawaban awal, sudah pasti kita harus optimis terlebih dahulu. Mau pandang dari sisi manapun, kita selalu punya potensi untuk berkembang dan melompat jauh. Tapi pada jawaban selanjutnya? Ada ratusan daerah 3T (terluar, tertinggal, terdepan) yang butuh latihan "lompat."
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 131 tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal periode 2015-2019, ada 24 provinsi yang masuk dalam skala prioritas pengembangan.
Dan, berdasarkan Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 1 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara periode 2015--2019, tersingkap ada 187 daerah 3T di Indonesia yang butuh dobrakan kualitas dari segala sisi.
Di sinilah kemudian kita harus mengakui bahwa keinginan Pak Jokowi untuk melakukan lompatan digitalisasi mendapat jalan yang sangat terjal, menebing, bahkan masih penuh dengan belukar.
Jangankan mau bicara lompat ke digitalisasi, memanfaatkan teknologi sebagai program akselerasi alias percepatan pengembangan kualitas pendidikan di berbagai daerah saja kita masih keteteran. Buktinya?
Saat wabah Covid-19 mulai melanda dan sistem pembelajaran berbasis digital dicoba, tampaklah banyak celah yang menandakan negara ini belum siap.
Dari segi biaya, pemerintah pusat sampai "berasap" karena pusing realokasi anggaran. Pelaku pendidikan di berbagai daerah pula pontang-panting beli pulsa. Sisanya? Sibuk menyaksikan berita digitalisasi dari televisi dan radio dengan berbagai keluh kesah.
Ujung-ujungnya kita malah memaklumi bahwasannya negara ini tidak terlalu muluk untuk melakukan lompatan digitalisasi untuk kemajuan pendidikan. Terang saja, kita bukanlah negara kaya yang mampu mendongkrak pendidikan dengan biaya semaunya.
Kompasianer Risna Nugroho beropini bahwa Indonesia dengan tanah yang sangat luas dan subur untuk memenuhi kebutuhan swasembada beras dan berbagai hasil pertanian saja belum bisa, bagaimana mau bicara soal infrastruktur prioritas seperti listrik dan internet?
Ada tabrakan kepentingan yang sejatinya harus dipilih salah satu oleh pemerintah. Dan, pilihannya sudah pasti kebutuhan pangan terlebih dahulu.
Belum selesai di sana, kita juga diterpa dilema bahwa negeri ini tidak bisa lepas dari politisasi pendidikan. Kompasianer Prof Felix Tani menerangkan bahwa melepas pendidikan dari politisasi itu berat, sebab pendidikan adalah bagian dari praktis politik pendukung status quo.
Jika fakta-fakta yang membuat kita dilema ini digabungkan, maka jadilah ia sistem "pengganggu" kemajuan pendidikan yang terprogram dan sistemik. Jadi semakin susah kita untuk memurnikan atau bahkan memprioritaskan kemajuan pendidikan secara khusus.
Dari sinilah kemudian muncul keluh-keluh dari para guru "mengapa kok hari ini begini," "mengapa kok kurikulum gonta-ganti," dan seterusnya. Lumrah, bahkan sangat lumrah karena dalam reformasi pendidikan, guru adalah bagian dari birokrasi alias "bawahan" pendidikan.
Pemerintah, para pakar pendidikan, bahkan KPAI sekarang ini pun sudah berkali-kali teriak soal reformasi pendidikan dengan tajuk ganti kurikulum. Kita paham niatnya, dan niat mereka adalah ingin melakukan lompatan kualitas pendidikan.
Sayangnya, kita para pelaku pendidikan yang langsung menjalankan misi di lapangan tidak begitu siap untuk melompat. Barangkali, kita akan lebih siap jika diminta berlari dengan membawa banyak bekal.
Berlari dengan membawa kenyataan bahwa negeri ini punya potensi. Berlari dengan membuang nada-nada sentralistik yang membelenggu para "bawahan" birokrasi pendidikan. Serta berlari dengan orientasi pemantapan karakter sembari menggaungkan inovasi dan curiousity.
Rasanya, gercep inilah yang lebih aman daripada kita harus mengejar kualitas pendidikan dengan cara melompat. Masih banyak celah-celah kesenjangan yang harus kita tambal dengan cara berlari. Jika dilompati, bisa-bisa celah itu makin senjang.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H