Bisa dibayangkan kira-kira berapa jauh jarak yang harus dilompati berdasarkan titik awal sekolah 3T berdiri. Selain itu, karena nadanya adalah melompat, berarti langkah kaki haruslah panjang.
Pertanyaannya, dengan berbekal kesenjangan kualitas tadi apakah 3T mampu melakukan lompatan lebih jauh?
Jawaban awal, sudah pasti kita harus optimis terlebih dahulu. Mau pandang dari sisi manapun, kita selalu punya potensi untuk berkembang dan melompat jauh. Tapi pada jawaban selanjutnya? Ada ratusan daerah 3T (terluar, tertinggal, terdepan) yang butuh latihan "lompat."
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 131 tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal periode 2015-2019, ada 24 provinsi yang masuk dalam skala prioritas pengembangan.
Dan, berdasarkan Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 1 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara periode 2015--2019, tersingkap ada 187 daerah 3T di Indonesia yang butuh dobrakan kualitas dari segala sisi.
Di sinilah kemudian kita harus mengakui bahwa keinginan Pak Jokowi untuk melakukan lompatan digitalisasi mendapat jalan yang sangat terjal, menebing, bahkan masih penuh dengan belukar.
Jangankan mau bicara lompat ke digitalisasi, memanfaatkan teknologi sebagai program akselerasi alias percepatan pengembangan kualitas pendidikan di berbagai daerah saja kita masih keteteran. Buktinya?
Saat wabah Covid-19 mulai melanda dan sistem pembelajaran berbasis digital dicoba, tampaklah banyak celah yang menandakan negara ini belum siap.
Dari segi biaya, pemerintah pusat sampai "berasap" karena pusing realokasi anggaran. Pelaku pendidikan di berbagai daerah pula pontang-panting beli pulsa. Sisanya? Sibuk menyaksikan berita digitalisasi dari televisi dan radio dengan berbagai keluh kesah.
Ujung-ujungnya kita malah memaklumi bahwasannya negara ini tidak terlalu muluk untuk melakukan lompatan digitalisasi untuk kemajuan pendidikan. Terang saja, kita bukanlah negara kaya yang mampu mendongkrak pendidikan dengan biaya semaunya.