Bulan penuh kemuliaan di tengah pandemi Covid-19, agaknya inilah momentum yang pas bagi kita untuk meningkatkan kualitas takwa dengan cara bederma alias bersedekah. Lahan sedekah sudah tersedia di sekitar kita, juga di seluruh penjuru bumi Indonesia.
Bibit sedekah bisa dalam bentuk apapun. Mau dengan uang, dengan senyum, dengan tenaga, dengan menolong sesama, memberikan peluang orang lain untuk berbuat baik, hingga dengan cara-cara bai lainnya selama sandaran sedekah disandarkan kepada Allah, maka disilakan.
Makin tinggi keikhlasan, makin tinggi pula peluang seorang hamba untuk mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Tapi, makin rendah keikhlasan, maka bisa jadi bibit yang hamba tanam melalui sedekah tidak akan tumbuh menjadi pahala. Bukan karena salah lahan, tapi salah hati.
Mengapa kok hati yang salah? Lagi-lagi hati memang merupakan perkara yang sensitif. Apakah hanya ada darah atau malah ada penyakit, kita tidak pernah tahu isi hati seorang hamba.
Tambah lagi, setan selalu punya banyak cara untuk "membatalkan" pahala kita dengan memanfaatkan kelembutan sebuah hati. Kita ambil contoh sedekah yang tadi, kemudian disandarkan pada kalam Allah berikut ini:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah)..." QS Al-Baqarah:264
Sedih rasanya jika kita bersedekah, kemudian datang bersamaan dengannya perasaan ujub, congkak, dan riya hingga akhirnya pahala sedekah kita tak berbekas seperti halnya batu licin yang tak bertanah.
Untuk itulah, kiranya kita butuh sedikit trik dalam bersedekah. Kalau strategi sedekahnya adalah sembunyi-sembunyi, rasanya pembaca sekalian lebih pro dalam menutupi kebaikan. Tapi, kalau sedekahnya secara terang-terangan? Inilah perkara sensitif yang mesti kita tata.
Terang saja, sedekah secara terang-terangan memungkinkan kita untuk melahirkan tiga hal. Bisa melahirkan "Connecting Happines", perasaan congkak, serta bisa pula memunculkan perasaan minder dari orang lain.
Kalau sedekah yang kita keluarkan bisa menghubungkan kebahagiaan banyak orang, enak pula. Insya Allah hati ini akan lebih lega dan pahala akan mengalir deras. Tapi, kalau yang lahir adalah perasaan congkak dan membuat orang lain minder? Inilah alamat bahaya.
Nah, untuk menata hati agar tidak congkak dalam bersedekah secara terang-terangan terutama yang berbentuk uang, saya biasanya suka menggulung uang yang bernominal besar kemudian melapisinya dengan uang ribuan.
Bagi saya, cara seperti ini lebih aman untuk melindungi hati kita dari hasrat berbangga diri. Apa lagi jika nominalnya besar dan sebelum bersedekah kita sudah melihat nominal teman sebelah yang lebih kecil, mulailah setan-setan "menggelitik" hati kita untuk pamer.
Selain itu, kita juga bisa menyelipkan uang saat berbagi sembako atau kebutuhan pokok lainnya. Lagi-lagi opsi ini dilakukan untuk menata hati agar kita tak merasa congkak. Terang saja, perasaan congkak bisa membuyarkan keikhlasan dan membuat semuanya jadi sia-sia.
Trik sedekah agar tidak congkak sudah, sekarang kita menuju trik untuk tidak memunculkan perasaan minder dari orang lain.
Seminggu yang lalu, tepatnya saat kami mulai menggagas program berbagi ala alumni, saya baru menyadari bahwasannya nominal sedekah berupa uang yang terpampang dalam list di grup WA bisa melahirkan perasaan minder bagi seisi grup.
Gara-gara itu, rombongan alumni seisi grup jadi ribut dan mengungkapkan keminderannya atas nominal uang yang cukup besar. Akhirnya, saya bersama bendahara pun menghapus nominal uang dan membuat list baru dengan keterangan nama penyumbang dan jumlah total donasi.
Dari sana, muncullah banyak nama-nama "Hamba Allah" yang ikut bersedekah. Ya, tulisan "Hamba Allah" seakan menegaskan bahwa meskipun sedekah digalang secara terang-terangan, kita tetap bisa menata hati untuk bersedekah secara sembunyi-sembunyi.
Duh! Hampir saja kami menguburkan niat baik dan memutuskan tali hubungan kebahagiaan rekan-rekan alumni yang sejatinya ingin berdonasi. Kalau hubungan kebahagiaan untuk memulai berdonasi saja sudah putus, bagaimana bisa menebar kebaikan!
Sedekah dan Pentingnya Seorang Pelopor
Selain pentingnya menata keikhlasan hati, ternyata sedekah juga butuh seorang pelopor. Sangat butuh malah! Mengulik lagi tentang kegiatan alumni yang barusan saya bahas tadi, kalau tidak ada pelopor ataupun "provokatornya" mungkin kegiatan berbagi tidak akan terjadi.
Terang saja, di masa pandemi Covid-19 banyak orang mulai "malas" untuk bergerak jauh-jauh dari rumah. Keinginan untuk membantu tetap ada, tapi ketakutan akan terinfeksi virus juga ada. Jika dua ketakutan ini berkelahi, paling-paling yang muncul adalah "Nanti Saja Bersedekah."
Meskipun kegiatan berbagi ala alumni ini sudah berjalan 3 tahun, tapi kami selalu butuh yang namanya pelopor berbagi. Kalau tidak kami yang "merusuh" di grup WA, kegiatan tidak akan jadi.
Bahkan, karena mayoritas angkatan kami sudah diterpa virus milenial "malas gerak", akhirnya kami harus selalu "jemput bola" demi mengumpulkan donasi. Jika tidak? Bisa-bisa teman malah ingin berbagi di lain waktu saja.
Tidak jauh berbeda, suasana yang saya alami saat menjadi guru honorer 2 tahun lalu juga demikian. Demi memunculkan niat dan kemauan untuk bersedekah, saya sudah berkoar-koar di awal-awal minggu agar siswa seisi sekolah ikut tergerak untuk berdonasi.
Beruntungnya waktu itu saya punya anak-anak yang mau ikut menebar sosialisasi sedekah dan menjemput bola, sehingga tidak terlalu lelah serta tidak menjadi pusat perhatian. Perihal ini cukup krusial karena saya sendiri tidak mau mencederai nilai utama dari sedekah, yaitu ikhlas.
Jika sudah terkumpul banyak donasi untuk berbagi tapi kemudian tiada keikhlasan, percuma saja, kan? nanti kita hanya dapat capek dan lelah saja. Tambah lagi jika di bulan puasa, pasti hauusss. Upps
Sejatinya, baik hari ini maupun hari kemudian, kita selalu butuh yang namanya pelopor sedekah. Bukan hanya sekadar untuk melancarkan niat, pelopor sedekah seperti jadi kunci terbukanya connecting happines dalam jangkauan yang lebih luas.
Barangkali, tanpa adanya pelopor kita tetap bisa bersedekah. Tapi, bukankah kita selalu ingin untuk mendapatkan pahala yang berlipat ganda? Pastinya. Berarti, tinggal kita satukan saja antara niat sedekah yang tulus dan menjadi sosok pelopor sedekah.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H