Meskipun kegiatan berbagi ala alumni ini sudah berjalan 3 tahun, tapi kami selalu butuh yang namanya pelopor berbagi. Kalau tidak kami yang "merusuh" di grup WA, kegiatan tidak akan jadi.
Bahkan, karena mayoritas angkatan kami sudah diterpa virus milenial "malas gerak", akhirnya kami harus selalu "jemput bola" demi mengumpulkan donasi. Jika tidak? Bisa-bisa teman malah ingin berbagi di lain waktu saja.
Tidak jauh berbeda, suasana yang saya alami saat menjadi guru honorer 2 tahun lalu juga demikian. Demi memunculkan niat dan kemauan untuk bersedekah, saya sudah berkoar-koar di awal-awal minggu agar siswa seisi sekolah ikut tergerak untuk berdonasi.
Beruntungnya waktu itu saya punya anak-anak yang mau ikut menebar sosialisasi sedekah dan menjemput bola, sehingga tidak terlalu lelah serta tidak menjadi pusat perhatian. Perihal ini cukup krusial karena saya sendiri tidak mau mencederai nilai utama dari sedekah, yaitu ikhlas.
Jika sudah terkumpul banyak donasi untuk berbagi tapi kemudian tiada keikhlasan, percuma saja, kan? nanti kita hanya dapat capek dan lelah saja. Tambah lagi jika di bulan puasa, pasti hauusss. Upps
Sejatinya, baik hari ini maupun hari kemudian, kita selalu butuh yang namanya pelopor sedekah. Bukan hanya sekadar untuk melancarkan niat, pelopor sedekah seperti jadi kunci terbukanya connecting happines dalam jangkauan yang lebih luas.
Barangkali, tanpa adanya pelopor kita tetap bisa bersedekah. Tapi, bukankah kita selalu ingin untuk mendapatkan pahala yang berlipat ganda? Pastinya. Berarti, tinggal kita satukan saja antara niat sedekah yang tulus dan menjadi sosok pelopor sedekah.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H