Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mas Nadiem Sudah Jujur dan Mengakui, Pasti Ada Gebrakan Lagi!

6 Mei 2020   23:30 Diperbarui: 11 Mei 2020   05:17 1940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh kalhh dari Pixabay 

Sudah cukup lama anak-anak kita "dipaksa" belajar dari rumah oleh pandemi Covid-19. Andaikan anak-anak, guru, dan wali murid kita persilakan untuk mengutarakan apa yang mereka alami saat menggelar pembelajaran dari rumah, ragam jenis rasa akan mengudara.

Ada rasa senang dari siswa karena guru yang mengajar dari rumah begitu inovatif. Ada rasa kesal dari guru dan wali murid karena setiap kali menggelar pembelajaran online, sering muncul masalah. Serta ada pula rasa syukur, meskipun ada pandemi, kita tetap bisa belajar.

Jika ragam rasa ini kita satukan, barangkali akan tercipta permen nano-nano yang di setiap sisinya seakan menjelaskan bahwa inilah wajah pendidikan kita. Baiknya ada, lemahnya ada, kreatifnya ada, dan terpenting niat belajarnya ada. Dari sini, sudah sepatutnya kita berbangga.

Lebih dari itu, agaknya kebanggaan ini akan lebih indah jika kita sandingkan dengan kejujuran dan pengakuan. Yang bagus dari pendidikan, kita jujur sebut itu bagus, dan yang masih dianggap menghambat, maka kita akui sebagai hal yang butuh perbaikan secara mendesak.

Beruntungnya kejujuran dan pengakuan akan beragamnya rasa pendidikan kita hari ini baru saja diungkap oleh Mas Nadiem. Terhitung dalam beberapa hari ini, ada 3 pengakuan Mas Menteri dan itu termasuk hal yang cukup wajar untuk diterima.

Pertama, Mas Nadiem kaget dengan ketiadaan sinyal TV dan aliran listrik di berbagai daerah.

"Lalu ada yang bilang tidak ada sinyal TV bahkan ada yang bilang tidak punya listrik. Itu bikin saya kaget luar biasa, saya pun belajar sebagai menteri bahwa Indonesia ini masih banyak area-area yang sebenarnya tidak terbayang bagi kita di Jakarta, benar-benar tidak terbayang ada yang masih tidak punya akses listrik, bayangkan listriknya cuma nyala beberapa jam sehari," kata Nadiem dalam telekonferensi yang disiarkan di YouTube Kemendikbud RI, Sabtu (2/5/2020).

Awal membaca pengakuan kekagetan ini, barangkali kita sebagai rakyat yang lebih lama merasakan pasang-surut pendidikan daripada Mas Nadiem, akan bertepuk kening serta mulai meragukan beliau. Wajar kiranya, itu respon awal karena kita selalu ingin negeri ini lebih baik.

Tapi, kagetnya Mas Nadiem bukanlah pertanda sudah ditutupnya pintu taubat untuk membedah kesenjangan pendidikan, bukan? Jadi, beruntunglah kita karena Mas Nadiem kagetnya di awal-awal masa kepemimpinan. Masih banyak jalan untuk bertaubat dan melakukan gebrakan.

Kedua, Mas Menteri yang bernama lengkap Nadiem Anwar Makarim bin  Nono Anwar Makarim juga mengaku bahwa proses adaptasi pembelajaran secara online di masa pandemi ini sulit.

"Pembelajaran juga masih terdampak secara negatif secara substansial ya. Kita harus jujur bahwa proses-proses adaptasi ke online learning sangat sulit," ujar Nadiem dalam acara diskusi Akademi Edukreator dalam video teleconference Kemendikbud, Rabu (6/5/2020).

Lagi-lagi ungkapan kejujuran ini cukup lumrah untuk kita terima. Imbas dari pandemi Covid-19, guru, siswa, serta orangtua mau tidak mau harus keluar dari zona nyaman dan seakan dipaksa agar mampu menggelar pembelajaran online.

Karena pandemi dan kebijakan belajar dari rumah berasa seperti efek kejut, guru yang selama ini biasa mengajar dengan tatap muka juga ikut terkejut. Sebagian dari mereka berusaha untuk mengingat lagi hasil dari pelatihan kompetensi guru berbasis digital yang pernah diikuti.

Gambar oleh kalhh dari Pixabay 
Gambar oleh kalhh dari Pixabay 

Sebagian guru yang lain? Tentu saja sibuk melawan keterbatasan fasilitas pembelajaran dan berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan apa yang daerah miliki. Ada sinyal, pakai aplikasi. Tak ada sinyal, gunakan televisi. Tak ada televisi, tugas dan kunjungan akan jadi opsi.

Jadi, cukup adil bila kemudian ada pengakuan secara jujur bahwa adaptasi ke proses belajar via daring begitu menyulitkan.

Tambah lagi, berdasarkan survei dari Forum Anak Nasional pada akhir Maret 2020 yang diutarakan oleh Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar, dirangkumlah data bahwa 60% anak tidak terlalu senang dengan proses belajar dari rumah.

Andai sandaran kesimpulan terhadap kesuksesan pembelajaran online adalah kesenangan siswa, maka sudah pasti keberhasilannya belum mencapai standar. Jika 60% anak tidak senang, berarti yang senang hanyalah 40% dari jumlah sampel ratusan anak di Indonesia.

Masalahnya, untuk mewujudkan pendidikan untuk semua anak-anak di penjuru negeri kita tidak bisa melulu bersandar pada data yang 60% ini saja. Kita butuh pemerataan serta jarak kualitas pendidikan yang tidak terlalu senjang, dan kebutuhan ini berawal dari kejujuran.

Ketiga, Mas Nadiem menambah pengakuannya dengan berpendapat bahwa pemerataan pendidikan sulit tercapai tanpa ketersediaan listrik dan internet.

"Tapi yang sudah pasti tanpa konektivitas, artinya internet dan listrik. Proses pemerataan pendidikan kita tidak mungkin tercapai. Itu minimum, konektivitas internet dan listrik dua hal fondasinya," ujarnya melalui konferensi video dikutip dari akun Youtube Kemendikbud RI, Rabu (6/5/2020).

Mas Nadiem menganggap bahwa internet dan listrik merupakan dua fondasi yang saling berhubungan. Berarti, ini adalah kode gebrakan, kan?

Secara, untuk menguatkan pendidikan, negeri ini butuh aliran internet dan listrik yang merata. Keduanya adalah kunci dasar untuk menerapkan pembelajaran online. Jika jeblok salah satu fondasi, maka harapan pendidikan jadi timpang dan daerah yang terkendala jadi mati suri.

Dok. Ajeng Dinar Ulfiana dari Katadata.co.id
Dok. Ajeng Dinar Ulfiana dari Katadata.co.id

Di sinilah kemudian kita sangat butuh dengan gebrakan pendidikan yang tepat sasaran. Banyak orang teriak dan berkoar-koar bahwa pendidikan di bumi Pertiwi masih senjang, ternyata sudah Mas Nadiem simpulkan bahwa fondasi yang mesti disemen dahulu adalah internet dan listrik.

Terang saja, ketimpangan dari salah satu fondasi ini akan merembetkan kualitas pendidikan. Misalnya, dulu saya pernah mengikuti pelatihan desain pembelajaran berbasis digital, tapi sekarang mengajarnya di sekolah yang tak bersinyal. Berarti, belum bisa implementasi, kan?

Di luar sana, barangkali banyak juga guru-guru yang seperti saya, terlebih lagi mereka yang mengajar di daerah pelosok, di daerah yang sinyalnya setengah hati, serta di daerah yang sinyalnya lancar tapi masih kekurangan anggaran untuk pengadaan komputer.

Jika boleh berbaris, berarti kami berada di barisan pelaku pendidikan yang menuntut pemerataan pendidikan secara mendesak. Belum mau bicara tentang pengadaan komputer maupun pasang Wi-Fi di sekolah, melainkan berbicara tentang pemerataan sinyal dan listrik.

Soalnya, jika aliran internet dan listrik di daerah sudah lancar, perlahan masyarakatnya akan lebih dekat dengan teknologi. Terang saja, di era Merdeka Belajar kita sangat butuh dengan teknologi. Bukan untuk menggantikan guru, melainkan sebagai pijakan akselerasi.

Maka dari itulah, dalam waktu dekat ini pasti akan ada gebrakan baru dari Mas Nadiem soal pendidikan. 2 fondasi tadi sudah meminta kode untuk digebrak secara mendesak. Di lain sisi, Mas Nadiem juga sudah jujur dan mau mengakui fakta-fakta soal ketimpangan pendidikan.

Jika boleh saya hubungkan dengan teori Hierarki Kebutuhan Maslow, ungkapan pengakuan Mas Nadiem sudah menjawab kebutuhan "Esteem" para pelaku pendidikan sehingga yang sedang kita tunggu saat ini adalah "aktualisasi diri" dari pengakuan tersebut.

Jadi, boleh dibilang bahwa gebrakan baru Mas Nadiem adalah utang yang harus segera dibayar agar pendidikan di negeri ini bisa mencapai tingkat terbaiknya.

Kita selalu berharap agar kualitas pendidikan di negeri ini semakin hari semakin baik, maka dari itulah kita menanti gebrakan.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun