Padahal, bila merujuk pada awal tahun ini dan juga tahun lalu, produksi gula aren sedang lancar jaya. Apa lagi di bulan ramadan, selain produksi gula aren kami hampir tidak pernah macet, harganya juga cukup stabil dan cenderung menjulang.
Tambah lagi, tahun lalu kami juga aktif memasak beluluk alias kolang-kaling untuk kemudian dijual sebagai tambahan uang jajan lebaran sang adik. Produksi gula aren lancar, harganya naik, dan ada tambahan penghasilan dari beluluk. Nikmat mana lagi yang mau didustakan!
Namun, kisah bulan ramadan di tahun ini agaknya menjadi ujian yang besar bagi keluarga kami. Entah sedang sakit atau malah tidak enak badan, tiba-tiba saja sejak hari pertama puasa hinggalah saat ini gula aren kami merajuk alias tidak mau kering.
Syahdan, kami cukup bingung dengan fenomena tidak biasa ini. Cuaca harian masih baik-baik saja, tapi entah mengapa kadar air nira sebagai bahan baku terciptanya gula aren malah terlalu asam dan cenderung banyak busa.
Gara-gara efek itu, gula aren yang sudah berhasil dicetak dalam tempurung/batok kelapa terus melembek dan tidak mau kering. Sebenarnya, postur gula aren yang lembek ini sangat enak untuk dimakan. Rasanya seperti mengunyah permen karet, bisa ditelan dan ngangenin.
Meski demikian, karena sudah memasak air nira dalam waktu 6-8 jam hingga tercipta gula aren, tentu kami sangat mengharapkan agar tumpuan penghasilan ini bisa layak jual.
Karena sikap gula aren yang sering merajuk, akhirnya banyak kayu bakar yang jadi bara sia-sia tanpa bisa jadi gula aren. Bahkan, dari beberapa kali produksi ada pula gula aren yang ngaret dan mengaca, alias membatu. Jadi ya, mau tidak mau harus diolah lagi dan dihancurkan pakai kapak.
Cukup sulit dan rumit sebenarnya. Dari produksi gula aren yang semestinya setiap hari, kali ini berubah menjadi seminggu tiga kali sehingga penghasilan harian pun menyusut.
Tambah lagi dengan harga gula aren yang terkesan dingin dan jalan di tempat. Ya, harganya masih Rp16.000/kg, belum naik dan semoga saja tidak turun.