Gara-gara itu, kita pula yang harus bersiap diisolasi. Mengapa? Imbas dari lapar mata, kita juga bisa tertular penyakit. Minimal, kita sakit hati dan iri karena tak mampu membeli. Maksimal? Esok hari kita akan ikut-ikutan membeli dan posting di media sosial.
Duh! Sudah berat menahan lapar dan haus di bulan puasa, tambah lagi harus menahan hasrat berbelanja sebagai tuah dari lapar mata.
Sakit dan lelahnya berpuasa, barangkali bisa kita maklumi dan tak begitu berasa. Tapi, kalau sakit karena lapar mata? Bisa-bisa, di dompet kita semakin banyak sarang laba-laba. Jangan-jangan tidak bisa beli baju untuk hari raya!
Sebelum sakit ini bertambah parah atau mengguncang kesabaran dan selera, agaknya kita perlu mengubah sikap. Sejatinya, puasa bukanlah ibadah yang bisa kita jadikan alasan untuk balas dendam dalam berbelanja. Maka dari itu, kita perlu lebih dekat dengan orang yang tak berada.
Perbanyaklah Berteman dengan Orang Tak Punya
Sebenarnya, pada bulan ramadan banyak aksi-aksi peduli sosial yang mulai digencarkan di berbagai daerah. Ada yang berencana bagi-bagi masker, bagi-bagi sembako, dan ada pula yang berbagi takjil.
Kita semua begitu mengapresiasi kegiatan ini, bahkan kalau perlu kita sendiri yang berada di garda terdepan untuk mencurahkan niat berbagi. Saat mampu datang langsung ke rumah saudara-saudara kita yang kurang mampu dan tak punya, saat itu pula hati kita akan tertata.
Lebih dekat dengan orang-orang yang tak punya, lebih banyak bergaul dengan orang-orang yang tak berada, maka lebih mudah kita melawan hasrat dan nafsu dunia imbas dari lapar mata.
Terang saja, malu sendiri rasanya jika kita berbangga-bangga denga foya sedangkan saudara di samping kita hanya mampu makan dengan lauk seadanya. Teriris rasanya hati ini, itu pun kalau kita masih punya hati. Tapi, saya yakin kita semua masih punya ketulusan hati.
Bayangkan bila kita jarang bersua dengan orang yang tak punya dan lebih sering bergaul dengan saudara yang punya gaya hidup mewah. Andai kita kuat dari segi prinsip, mungkin mudah saja kita berhemat anggaran. Tapi, bukankah kita tidak selalu menang melawan selera?
Yang jelas, kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa setiap hamba punya selera dengan kadarnya masing-masing. Di suatu hari, kita begitu ingin beli makanan ini. Tapi, di suatu hari yang lain, ada pula keinginan diri untuk menyenangkan perut dengan kata "secukupnya."