Sungguh tidak terasa, waktu di bulan ramadan berjalan begitu cepat. Padahal baru kemarin kita berkisah tentang kepastian tanggal 1 ramadan, tapi hari ini? Kita sudah duduk di tanggal 9 ramadan. Tidak disangka, 21 hari lagi kita lebaran!
Hehehe, jangan cepat-cepat lebaran kali, ya! Kita hari ini masih sibuk memperbaiki diri, sibuk memperbanyak ibadah di bulan suci, sibuk membantu sesama dan berbagi, serta sibuk berjuang bersama-sama dalam memberantas pandemi.
Secara tidak langsung, tujuannya juga tidak terlalu jauh dari lebaran. Tepatnya, ada berkarung-karung harapan agar kita semua bisa terbebas dari wabah saat hari kemenangan umat muslim tiba. Ya, kita sama-sama menantikannya.
Tapi sebelum sampai ke tanggal hari raya, kita masih harus berjuang dan bertarung melawan hawa nafsu di bulan puasa. Jujur saja, biarpun dikatakan bahwa setan-setan sedang dipenjara, kita tidak selalu bisa menang saat bertarung melawan selera.
Nafsu suka muncul dengan hasrat yang membludak secara tiba-tiba. Jika tidak mampu kita kontrol dengan baik, maka hasrat tadi akan berubah menjadi virus ganas yang berkeliaran di sekitar mata. Mengapa harus mata?
Kata orang, hal yang indah suka singgah dari mata dan turun ke hati. Kata teman, pandangan pertama itu suka muncul dari mata, lalu turun ke perasaan jatuh cinta. Dan kata Kompasiana, gara-gara mata kita bisa menjadi kalap dalam berbelanja. Ini serius!
Kata "orang tadi" tidak usah kita bahas, dan kata "teman tadi" tidak usah dikupas. Kita usik saja kata Kompasiana yang menyebut "lapar mata."
Di bulan puasa, fenomena lapar mata yang berbuah perilaku berlebihan dalam berbelanja bisa kita kategorikan kepada virus, alias penyebab terjadinya penyakit. Hebatnya, virus yang tersebar di mana-mana ini lebih suka menyerang nafsu seseorang melalui mata.
Caranya? Virus ini bisa muncul di pasar takjil dan mulai menggoda isi dompet kita. Virus ini bisa pula muncul di warung bakso dan mi ayam hingga menggoda kita untuk memborong semua. Di toko online juga demikian, dan barangkali puncaknya adalah jelang hari raya.
Buktinya? Dari awal puasa hingga hari ini cukup ramai postingan takjil dan ragam menu buka puasa yang diunggah banyak orang ke media sosial. Sejatinya saya mengira mereka hanya mau promosi, tapi ketika diulik lagi muncullah hastag "Menu kami hari ini", "Hmm, nyam...nyam!"
Gara-gara itu, kita pula yang harus bersiap diisolasi. Mengapa? Imbas dari lapar mata, kita juga bisa tertular penyakit. Minimal, kita sakit hati dan iri karena tak mampu membeli. Maksimal? Esok hari kita akan ikut-ikutan membeli dan posting di media sosial.
Duh! Sudah berat menahan lapar dan haus di bulan puasa, tambah lagi harus menahan hasrat berbelanja sebagai tuah dari lapar mata.
Sakit dan lelahnya berpuasa, barangkali bisa kita maklumi dan tak begitu berasa. Tapi, kalau sakit karena lapar mata? Bisa-bisa, di dompet kita semakin banyak sarang laba-laba. Jangan-jangan tidak bisa beli baju untuk hari raya!
Sebelum sakit ini bertambah parah atau mengguncang kesabaran dan selera, agaknya kita perlu mengubah sikap. Sejatinya, puasa bukanlah ibadah yang bisa kita jadikan alasan untuk balas dendam dalam berbelanja. Maka dari itu, kita perlu lebih dekat dengan orang yang tak berada.
Perbanyaklah Berteman dengan Orang Tak Punya
Sebenarnya, pada bulan ramadan banyak aksi-aksi peduli sosial yang mulai digencarkan di berbagai daerah. Ada yang berencana bagi-bagi masker, bagi-bagi sembako, dan ada pula yang berbagi takjil.
Kita semua begitu mengapresiasi kegiatan ini, bahkan kalau perlu kita sendiri yang berada di garda terdepan untuk mencurahkan niat berbagi. Saat mampu datang langsung ke rumah saudara-saudara kita yang kurang mampu dan tak punya, saat itu pula hati kita akan tertata.
Lebih dekat dengan orang-orang yang tak punya, lebih banyak bergaul dengan orang-orang yang tak berada, maka lebih mudah kita melawan hasrat dan nafsu dunia imbas dari lapar mata.
Terang saja, malu sendiri rasanya jika kita berbangga-bangga denga foya sedangkan saudara di samping kita hanya mampu makan dengan lauk seadanya. Teriris rasanya hati ini, itu pun kalau kita masih punya hati. Tapi, saya yakin kita semua masih punya ketulusan hati.
Bayangkan bila kita jarang bersua dengan orang yang tak punya dan lebih sering bergaul dengan saudara yang punya gaya hidup mewah. Andai kita kuat dari segi prinsip, mungkin mudah saja kita berhemat anggaran. Tapi, bukankah kita tidak selalu menang melawan selera?
Yang jelas, kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa setiap hamba punya selera dengan kadarnya masing-masing. Di suatu hari, kita begitu ingin beli makanan ini. Tapi, di suatu hari yang lain, ada pula keinginan diri untuk menyenangkan perut dengan kata "secukupnya."
Semua orang pasti punya rasa itu, hanya saja kecenderungannya yang berbeda. Ada yang cenderung berusaha keras memenuhi keinginan perut, ada yang hanya menikmati rasa kenyang sesekali saja, dan ada pula yang hanya mau menikmati makanan seadanya.
Untuk meluruskan kecenderungan ini ke arah perilaku yang positif, maka kita sangat butuh bergaul dan berteman dengan orang-orang yang tak punya. Kita akan belajar bagaimana caranya menerima, dan kita juga akan diajari bagaimana caranya menikmati hidup.
Lalu, apakah nikmat hidup yang dimaksud? Nikmat itu adalah rasa syukur.
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." QS Ibrahim: 7
Salam.
Semangat Berpuasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H