Mengapa perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia sudah seakan jadi stigma? Mungkin unsur politisasi inilah jawabannya. Gabungan antara politisasi dengan pendidikan sepertinya cukup sensitif.
Terang saja, anggaran penyelenggaraan pendidikan tidaklah sedikit sehingga kesempatan untuk mengutamakan kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan bagi seorang pemimpin cukup terbuka. Nafsu, syahwat duniawi, dan kekokohan iman berbicara banyak di sini.
Dari sinilah kita kemudian butuh pemimpin yang adil dan bijaksana dalam mengelola pendidikan. Ibaratkan seorang guru, pemimpin juga harus mempunyai panggilan jiwa untuk memaksimalkan penyelenggaraan pendidikan di negeri ini.
Jika sudah punya panggilan jiwa, agaknya kebijakan yang lahir untuk dunia pendidikan di bumi Pertiwi tidak lagi terkesan otoriter, tumpang-tindih, plintat-plintut, dan asal sah. Kemurnian niat yang seperti ini begitu penting, terutama untuk mewujudkan hak pendidikan untuk semua.
Akhirnya, kita selalu rindu dengan kualitas pendidikan negeri yang berkemajuan. Meskipun tantangan selalu ada dan kesulitan di sana-sini selalu muncul, yakinlah bahwa masih banyak dari kita yang peduli dengan kemajuan pendidikan.
Keberadaan bencana Covid-19 sejatinya bukanlah dihadirkan untuk menampar wajah pendidikan kita. Ujian berupa wabah ganas ini hanya menginginkan negeri untuk segera melakukan perbaikan, terutama untuk mewujudkan pendidikan yang lebih baik.
Jadi, tetaplah sehat, tetaplah semangat, tetaplah berjuang bersama, dan selamat Hari Pendidikan Nasional.
Ditulis untuk Indonesiaku tercinta. Sabtu, 02 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H