Sayangnya cerita di daerah kami cukup nyeleneh dan berbeda. Datangnya cerita ini adalah dari rombongan petani sayuran di sekitaran daerah Curup, Bengkulu yang masih merasa mendung dengan harga bahan-bahan pokok.
Para petani sayuran yang merupakan sahabat seperjuangan saya ini mengaku masih risau bin galau dengan stabilitas harga jual sayuran. Bagaimana tidak galau, walaupun harga sayur yang dibeli langsung dari petani mulai merangkak naik, kenaikan itu masih jauh di bawah standar.
Hal inilah yang kemudian melahirkan sebuah dilema di kalangan petani sayuran. Di sisi pasar, harga eceran sayur-mayur cukup stabil bahkan termasuk cukup mahal, tapi di sisi petani malah masih terbilang murah. Jadi, bagaimana petani sayur mau beli sembako eceran?
Sahabat saya, Wapres alias Wahyu Prasetia menuturkan bahwa di awal-awal wabah harga sayuran terjun bebas. Sawi dibeli dari petani dengan harga Rp200/kg, kubis Rp800/kg, tomat Rp2.000/kg, tapi harga cabai merah dan rawit masih normal berkisar Rp24.000-26.000/kg.
Sedangkan sekarang, Wapres yang merupakan lulusan Sekolah Ilmu Pertanian dan sukses mengembangkan pertanian dengan ilmu modern ini menyebut harga sayur mulai merangkak naik, meskipun masih dingin.
Saat ini, sawi sudah menginjak harga Rp1.200/kg dan kubis Rp1.500/kg, tomat Rp4.000/kg, sedangkan harga cabai malah anjlok pada kisaran Rp14.000-17.000/kg.
Kedinginan harga inilah yang kemudian menjadikan sebagian besar petani sayuran di dekat desa kami berasa mendung hati. Kebutuhan pangan di bulan puasa cukup banyak, tapi petani masih harus hitung-hitungan. Cukup atau tidak untuk modal tanam di hari esok, juga untuk makan.
Tambah lagi, salah satu teman saya yang tinggal di bawah kaki bukit Kaba juga berkeluh kesal karena akhir-akhir ini tanaman bawang daun di desanya sering dicuri orang. Padahal, harga bawang daun baru saja merangkak naik menuju Rp4.000/kg.
Agak khawatir sebenarnya. Jika kembali mengacu pada pengalaman-pengalaman di tahun belakang, ibu saya menuturkan bahwa setiap bulan puasa harga sayur selalu turun. Maka dari itulah, banyak petani di daerah saya memilih untuk berbisnis beluluk alias kolang-kaling.
Semua dilakukan demi pemenuhan kebutuhan pangan keluarga di rumah. Belum lagi dengan persiapan bikin kue dan beli baju lebaran, berarti sudah tambah banyak tumpukan nota anggaran yang harus dicicil.