Terkecuali gula pasir, agaknya harga bahan pangan di bulan Ramadan tahun ini cukup cerah alias stabil. Tidak kedengaran banyak keluhan dari ibu saya serta tetangga sebelah tentang keganjilan harga bahan pokok. Semoga saja stabilitas harga ini bisa bertahan sampai lebaran.
Soal gula pasir, sejak awal-awal penyebaran Covid-19 harganya memang sudah berasa tidak tega. Tembus Rp18.000/kg, benar kan tidak tega!
Terang saja, seperti yang pernah saya kemukakan di tulisan sebelumnya, harga gula pasir naik seenaknya meninggalkan "manisnya" gula aren. Padahal, sebelum masuk tahun 2020 gula aren selalu lebih manis beberapa tingkat daripada gula pasir.
Jika sudah seperti ini, wajar bila kemudian ada prasangka kalau-kalau ada oknum tertentu yang berani menjual bahan pokok seperti gula dengan harga yang tidak sehat. Jangankan bahan pokok sehari-hari, masker saja bisa naik sampai 2000 kali lipat gegara Covid-19.
Prasangka ini akhirnya menjadi dasar dan tumpuan Menteri Perdagangan untuk membentuk tim monitoring yang bertugas melakukan pengawasan ketat terhadap harga bahan pokok seperti gula pasir, di lapangan.
"Kami telah membuat tim monitoring mengawasi pelaksanaan ini semua. Jangan ada pihak atau oknum yang melakukan penjualan tidak sehat. segala yang melanggar ini menjual di atas HET akan ditindak tegas," kata Agus melalui konferensi video, Selasa (28/04/2020).
Selagi masih di awal-awal Ramadan, Kemendag memang harus gerak cepat untuk mengamati pergolakan harga bahan pokok di lapangan. Kalau lambat gerak alias lelet perhatian, maka tambah pusinglah emak-emak di rumah.
Baru-baru ini, Presiden Jokowi juga sudah menyampaikan data bahwa stok bahan pangan pokok seperti beras, cabai, bawang, hingga gula mengalami defisit di beberapa provinsi.
Pak Jokowi pun cukup mengkhawatirkan prediksi dari Food and Agriculture Organization (FAO) tentang potensi adanya krisis pangan di tengah pandemi Covid-19. Jangankan Pak Presiden, kita sebagai masyarakat pun ikut cemas karena fakta di lapangan bisa saja nyeleneh.
Beruntungnya akhir-akhir ini fenomena panic buying di Indonesia sudah redup sehingga stok bahan pangan dalam negeri tidak habis secara tiba-tiba.
Kalau dipikir lagi, wajar kiranya tak muncul panic buying. Sudah cukup banyak jaring laba-laba yang bersarang di dompet kita karena harus bekerja dari rumah. Meski begitu, semoga saja konsumen hari ini sudah lebih cerdas dan bijak, ya!
Sayangnya cerita di daerah kami cukup nyeleneh dan berbeda. Datangnya cerita ini adalah dari rombongan petani sayuran di sekitaran daerah Curup, Bengkulu yang masih merasa mendung dengan harga bahan-bahan pokok.
Para petani sayuran yang merupakan sahabat seperjuangan saya ini mengaku masih risau bin galau dengan stabilitas harga jual sayuran. Bagaimana tidak galau, walaupun harga sayur yang dibeli langsung dari petani mulai merangkak naik, kenaikan itu masih jauh di bawah standar.
Hal inilah yang kemudian melahirkan sebuah dilema di kalangan petani sayuran. Di sisi pasar, harga eceran sayur-mayur cukup stabil bahkan termasuk cukup mahal, tapi di sisi petani malah masih terbilang murah. Jadi, bagaimana petani sayur mau beli sembako eceran?
Sahabat saya, Wapres alias Wahyu Prasetia menuturkan bahwa di awal-awal wabah harga sayuran terjun bebas. Sawi dibeli dari petani dengan harga Rp200/kg, kubis Rp800/kg, tomat Rp2.000/kg, tapi harga cabai merah dan rawit masih normal berkisar Rp24.000-26.000/kg.
Sedangkan sekarang, Wapres yang merupakan lulusan Sekolah Ilmu Pertanian dan sukses mengembangkan pertanian dengan ilmu modern ini menyebut harga sayur mulai merangkak naik, meskipun masih dingin.
Saat ini, sawi sudah menginjak harga Rp1.200/kg dan kubis Rp1.500/kg, tomat Rp4.000/kg, sedangkan harga cabai malah anjlok pada kisaran Rp14.000-17.000/kg.
Kedinginan harga inilah yang kemudian menjadikan sebagian besar petani sayuran di dekat desa kami berasa mendung hati. Kebutuhan pangan di bulan puasa cukup banyak, tapi petani masih harus hitung-hitungan. Cukup atau tidak untuk modal tanam di hari esok, juga untuk makan.
Tambah lagi, salah satu teman saya yang tinggal di bawah kaki bukit Kaba juga berkeluh kesal karena akhir-akhir ini tanaman bawang daun di desanya sering dicuri orang. Padahal, harga bawang daun baru saja merangkak naik menuju Rp4.000/kg.
Agak khawatir sebenarnya. Jika kembali mengacu pada pengalaman-pengalaman di tahun belakang, ibu saya menuturkan bahwa setiap bulan puasa harga sayur selalu turun. Maka dari itulah, banyak petani di daerah saya memilih untuk berbisnis beluluk alias kolang-kaling.
Semua dilakukan demi pemenuhan kebutuhan pangan keluarga di rumah. Belum lagi dengan persiapan bikin kue dan beli baju lebaran, berarti sudah tambah banyak tumpukan nota anggaran yang harus dicicil.
Bukanya Gudang Sayur Menjadi Sebuah Asa Bagi Petani
Di awal-awal penyebaran Covid-19 di Indonesia, sempat terjadi kepanikan yang luar biasa di kalangan agen alias distributor yang mengirim sayuran ke luar provinsi. Efeknya, pasar-pasar di Jawa banyak tutup dan pintu-pintu gudang sayur di daerah sendiri ikut terkunci.
Mujurnya, semenjak tabuh Ramadan dihentakkan gudang-gudang sayur kembali buka dan mobil-mobil sayur mulai berlalu-lalang untuk mendistribusikan sayur ke luar provinsi.
Dampak baiknya adalah para petani sayuran tidak terlalu shock dengan dentuman harga gula pasir yang sempat naik menjulang. Selain itu, mereka juga mulai semangat mengurusi tanaman di kebun masing-masing sembari berharap harga jual segera naik.
Bagi petani sayuran, sebenarnya pandemi Covid-19 tidaklah terlalu jadi penghalang mereka untuk tetap memproduksi sayuran. Yang menghalangi adalah ketakutan-ketakutan yang absurd terhadap wabah, macetnya distribusi sayur, hingga ketidakpastian cuaca.
Namun, yang lebih serius lagi adalah praduga atas adanya oknum-oknum nakal pemain harga. Kalau harga eceran di pasar masih stabil dan tergolong tinggi, mestinya harga sayuran di kalangan petani juga bisa ditetapkan dalam kadar normal alias wajar.
Tapi, kalau harga eceran di pasar malah terlalu jauh melangkahi harga sayuran yang dibeli dari petani, rasanya ada sesuatu hal yang perlu ditanyakan. Apa saja kerja distributor, dan apa benar mereka sudah jujur menawarkan harga.
Selain pemerintah daerah setempat, agaknya pemerintah pusat juga perlu memperhatikan nasib petani sayuran di Indonesia. Mereka juga mau beli daging sapi sesekali walau hanya kg. Mereka juga mau beli takjil, beli susu untuk penambah semangat sahur, dan juga baju lebaran.
Jika harga bahan pangan cerah di pasaran, maka harusnya harga yang dibeli dari para petani juga cerah. Adanya petani juga untuk menyenangkan pemerintah agar tidak melulu impor pangan. Maka darinya, hapuslah mendung di hati petani dengan perbaikan harga yang wajar.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H