Kehadiran pandemi Covid-19 di dunia pendidikan rasanya sangat menyusahkan. Anak-anak yang seharusnya riang dan bersukacita menikmati hari-hari sekolah malah menjadi murung karena mendapat ujian hidup.
Selain itu, mereka pula cukup bosan dengan rutinitas di rumah saja. Jangankan mau main bola dan sepeda bersama-sama ke lapangan, main ke rumah tetangga pun belum tentu diperbolehkan.
Terang saja, saat ini keselamatan jadi hal terpenting dan utama. Lebih baik tahan dulu keinginan hari ini, makan dulu kebosanan hari ini, agar nanti dapat segera bertatap muka dan berkumpul bersama dalam senandung senang hati.
Meski demikian, bukan berarti anak-anak di rumah dapat dengan mudahnya dikalahkan oleh kebosanan dan kemalasan.
Mentang-mentang durasi pembelajaran yang tayang di TVRI per tingkatan kelasnya hanya 30 menit, 23,5 jamnya dimanfaatkan untuk main game, tidur pulas dan rebahan. Alangkah banyak waktu terbuang, rugilah diri karena waktu muda disia-siakan.
Maka dari itulah, orangtua di rumah diharapkan mampu bekerja sama dengan guru untuk menata program dan kegiatan anak agar sikap belajar tetap menjadi sebuah rutinitas. Biarlah anak bosan, asalkan ia bosan karena terus belajar, orangtua bisa hibur mereka dengan cemilan.
Lebih dari itu, jika anak mulai bosan karena rutinitas belajar, orangtua juga bisa menghadirkan kreativitas dan menyilakan anak untuk memilih minat belajar apa yang ia suka. Hal ini cukup penting karena makin minat anak belajar, maka makin mudahlah ilmu masuk ke otaknya.
Ibaratkan mesin fotokopi, anak yang belajar karena minat dan motivasi seakan-akan mampu menyalin ilmu dan pengetahuan buku hingga nyaris sempurna. Biarpun warnanya hitam putih, dengan tambahan karakter hidup anak akan terwarnai dengan sendirinya.
Tapi, karena pembelajaran itu digelar di rumah, tidak semua orangtua mampu sabar dan mengerti dengan kondisi kebosanan anak. Karena tempat belajarnya saja yang diganti "dari sekolah menjadi dari rumah" akhirnya orangtua malah mengatur jadwal layaknya di sekolah.
Jam segini anak harus belajar, dalam waktu segitu anak harus selesai mengerjakan tugas dan segera beralih ke tugas lain. Naasnya, karena kesibukan orangtua tidak mampu mendampingi secara utuh melainkan hanya datang dan bertanya kepada anak "sudah apa belum!"
Memang benar anak jadi rutin belajar. Tapi, tahukah para orangtua bahwa ternyata anak yang kehidupan belajarnya terlalu banyak diatur akan mudah bosan dan tertekan. Anak tetap rutin belajar, tapi karena tertekan akhirnya tiada materi yang singgah di benaknya. Kan, capek saja!
Tidak hanya orangtua, para guru juga diharapkan mampu memberikan keleluasaan dan keluwesan kepada anak-anak di rumah agar mereka bisa belajar sesuai dengan minatnya.
Harapan ini digaungkan karena beberapa waktu yang lalu penduduk maya dihebohkan dengan unggahan tangkapan layar berisi percakapan orangtua murid kepada pihak sekolah. Isinya tidak lain adalah keluhan bahwa tugas anak via online terlalu banyak dan dinilai cukup berat.
Kita cukup sedih dengan fakta ini, padahal belajarnya sudah bersistem revolusi industri 4.0 alias Merdeka Belajar, tapi rasa dan nuansa belajar masih terkesan kolonial.
Tidak cukup sampai di situ, baru-baru ini KPAI juga merilis laporan tentang adanya 213 aduan siswa terkait pelaksanaan program belajar dari rumah dalam kurun waktu 4 minggu terakhir.
Bu Retno selaku komisioner KPAI bidang pendidikan menyebutkan, poin pertama dan utama dari pengaduan itu adalah penugasan yang maha berat dengan waktu pengerjaan yang pendek.
Dari sini, agaknya dunia pendidikan sudah diterpa dilema. Walaupun Bu Retno terlalu bermajas dengan menyebutkan tugas siswa "Maha Berat", kita juga dihadapkan dengan kenyataan bahwa anak-anak hari ini begitu manja.
Sedikit-sedikit laporan, sebentar-sebentar laporan. Padahal, keberadaan sumber dan media belajar online sudah cukup memanjakan anak dari segi ketersediaan ilmu pengetahuan.
Dan di sisi lain, kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh sumber dan media belajar online malah dimanfaatkan sebagai "pindah tugas dari media cetak ke media online" oleh sebagian guru. Artinya, keberadaan teknologi bukannya memudahkan, malah merepotkan saja.
Dengan berbagai macam opini dan umpatan keberatan yang telah terungkap hingga saat ini, sebenarnya anak sangat butuh otonomi. Mereka mau belajar, mereka minat belajar, dan mereka termotivasi belajar asalkan ada kebebasan dan kemerdekaan belajar yang ditawarkan.
Agaknya inilah salah satu cara untuk mengatasi dan memanfaatkan momentum "manjanya" anak terhadap teknologi. Karena sumber belajar sudah begitu memanjakan, maka anak-anak juga perlu dimanjakan dengan memberikan mereka otonomi dalam belajar.
Biarkan anak memerintahkan sendiri negara belajarnya, dan berikan anak keleluasaan untuk mengatur kepentingan daerah belajarnya sendiri, yang didasarkan atas minat serta kebahagiaan belajar.
Jelasnya, anak-anak zaman ini tidak cocok diajak belajar layaknya buruh paksa di zaman kolonial. Andai mereka diperlakukan dengan sistem romusha, mungkin esok atau lusa KPAI akan lembur 24 jam untuk menangani keluhan anak dan orangtua.
Lagi, alasan lain mengapa anak harus diberikan otonomi adalah karena mereka bukanlah "mesin fotokopi ilmu".
Lihat saja sistem kerjanya mesin fotokopi. Suap dua lembar, tercerna dua lembar. Fotokopi 1 buku ratusan lembar, terjilidlah ilmu ratusan lembar. Jika anak benar-benar bisa dibuat seperti ini, maka hebat-hebat dan kerenlah generasi kita di masa depan.
Tapi, sayangnya anak-anak tidak mampu belajar dan memakan ilmu layaknya mesin fotokopi. Andaipun mereka mampu, rasanya materi-materi yang terfotokopi di otak tidak sampai ke hati alias tidak bermakna.
Pembelajaran tanpa makna sama saja seperti mesin fotokopi yang kehabisan kopi. Makin banyak fotocopi makin buram. Makin banyak anak belajar, makin banyak pula yang hilang alias tiada yang lengket kecuali hanya sedikit saja.
Maka dari itu, sangat penting bagi guru maupun orangtua untuk membiarkan anak-anak mereka di rumah bebas membuat struktur dan jadwal belajar berdasarkan minatnya. Pacu agar anak bergairah dan mau memunculkan ide-ide baru.
Tapi, meski sudah diberikan otonomi ada pula saat-saat orangtua mesti turun tangan. Jika anak malah membuat jadwal untuk main game online serta rebahan sesukanya sendiri, maka orangtua silakan tegur dan nasihati.
Tak perlu langsung dimarahi melainkan beri anak pilihan. Mau atur ulang jadwal belajar dan main game, atau tidak dapat jatah main game di hari itu. Jika demikian sistemnya, barangkali orangtua akan terkesan dengan hasilnya. "Selamat Berjuang."
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H