"Kalau harga minyak goreng, naiknya masih waras kali, ya?"
Agaknya, kami rakyat kecil masih beruntung karena harga minyak goreng naiknya cukup waras. Baru saja saya bercengkramah dengan sang ibu, ternyata harga minyak goreng di Curup naik dari Rp. 11.500 menjadi Rp. 12.000/kemasan.
Ya, sekarang adanya hanya minyak goreng kemasan, sedangkan minyak goreng curah sudah disetop peredarannya. Kenaikan ini kiranya cukup wajar, mengingat serangan Covid-19 yang belum berakhir.
Terang saja, saat keluarga lebih banyak mendulang aktivitas di rumah, di saat itu pula selera cemil-mencemil dan goreng-menggoreng naik drastis. Jika saja peredaran minyak goreng terputus atau harganya tiba-tiba menjulang, maka bersiaplah. Akan singgah banyak omelan!
Namun, baru-baru ini omelan dan derita rakyat kecil belum membahas tentang minyak goreng. Yang menjadi tajuk utama "keributan" kami hari ini adalah persoalan karet dan kopi.
Bagaimana tidak ribut, harga kedua sandaran penghasilan kami ini tiba-tiba saja terjun bebas hingga tenggelam sampai ke palung terdalam dari standar harga normal.
Harga Karet "Membusuk"
Beberapa hari yang lalu, setelah saya membagikan postingan artikel tentang Gula Aren via Whatsapp Story, ada teman perempuan yang membalas chat dan memberikan komentar pedih tentang karet.
"Tidak hanya gula Aren, harga karet juga membusuk, bang!"
Begitulah komentar awalnya. Ia menyebutkan bahwa semenjak Covid-19 menyerang, karet hanya dihargai Rp. 2.000-3.000 saja per kilogramnya. Jujur saja, harga itu begitu jatuh bin murah dan terjun jauh dari standar harga.
Normalnya, karet dijual seharga Rp.4.000-6.000/kg. Menurut teman saya selaku petani karet, harga itu sudah termasuk murah karena di era Jokowi harga karet begitu susah merangkak naik.
Jika boleh kami sedikit membandingkan, di era SBY harga karet sempat melonjak hingga Rp.17.000-20.000/kg. Harga ini lumayan luar biasa, dan membahagiakan para petani karet.
Lalu, bagaimana dengan kelanjutan kisah karet yang hanya dihargai Rp.2.000 saja? Teman perempuan saya tadi mengaku kesulitan mencari toke alias agen penjemput karet. Mereka sedia membeli jika sudah ada ikatan langganan saja. Jika tidak? Entahlah, karet pun membusuk.
Jikapun ketersediaan karet dari petani cukup banyak, toke karet cenderung pilih-pilih dalam membeli. Sekarang masih ada toke yang mau beli, tapi selanjutnya? Entahlah.
Harga Kopi Turun Tidak Waras
Pagi tadi tepatnya, saya mendapat fakta tidak waras dari teman seperjuangan kuliah tentang harga kopi. Awalnya sosok teman humoris yang bernama Toni ini hanya mengunggah postingan di Facebook dengan tulisan "harga kopi murah".
Tapi, karena keluarga kami juga petani kopi, saya langsung mengontak Toni untuk menanyakan harga biji kopi di sana, tepatnya di Sindang Beliti Ilir, masih satu kabupaten dengan desa kami di provinsi Bengkulu.
Dan, didapatlah fakta yang “luar binasa” bahwa harga biji kopi kering di sana hanya Rp. 8.000 saja per kilogramnya. Kaget saya, betapa jatuhnya harga kopi hari ini!
Harga biji kopi normal di desa kami biasanya berkisar antara Rp. 17.000-19.000/kg. Bahkan, di beberapa tahun belakang harga kopi bisa tembus Rp. 20.000-22.000/kg. Entah kapan harga indah ini bisa terulang lagi. semoga saja di pertengahan tahun ini.
Karena sekarang Covid-19 sedang melanda, harga kopi di sini turun menjadi Rp. 11.000-12.000. Turun Rp. 5.000 saja kami sudah gusar, Tapi, di desa Toni? Sudah di atas Rp. 10.000 jatuhnya.
Kalau sudah seperti ini, bagaimana bisa kita berlapang-lapang dan menerima. Fakta ini sudah bukan lagi luar biasa, tapi sudah luar binasa. Cukup untuk menghancurkan stabilitas perekonomian para petani, juga menambah sarang laba-laba di dompet kami.
Tapi ya, mau bagaimana lagi. Saat ini gudang kopi banyak yang tutup dan distribusi kopi ke provinsi lain begitu terhambat.
Tambah lagi, tahun ini penghasilan kopi terutama dari keluarga kami sedang "macet". Buah kopi tidak begitu lebat dan karena sering hujan, bunga kopi jadi rontok. Bersyukur kami karena masih punya penghasilan tambahan dari jalur lain, yaitu gula Aren.
Jika penghasilan utama keluarga hanya dari kopi, entahlah. Bisa dibayangkan betapa susah dan ruwetnya ujian hidup yang menimpa petani kopi saat ini. Karena pasti ada, bahkan banyak keluarga yang menggantungkan hidupnya dari buah kopi.
Dan, yang lebih susah hingga membuat kita prihatin adalah saudara-saudara kita yang mengurus kebun karet dan kebun kopi orang lain. Sudah harga karet dan kopi jatuh, mereka harus berbagi penghasilan pula. Duh, semakin ke sini, semakin merinding saya menulisnya!
Masih berpijak dari kesedihan teman saya selaku petani karet, ia menambahkan bahwa bulan ini tidak mengambil bagi hasil dari pemotong karet di kebun.
Hal ini dilakukan karena ia sangat prihatin dengan pekerja karet. Jika saja ada 10 kg karet terjual, maka pekerja karet baru dapat membeli beras maksimal 2 kg. Sungguh, dan jujur saja hitung-hitungan hasil ini tidaklah sebanding dengan tumpukan keringat pekerja karet.
Saya kira, pemerintah mesti berbicara banyak soal ketidak-warasan harga kopi dan karet yang mulai "luar binasa" ini. Kita cukup paham bahwa bangsa ini sama-sama menderita karena Covid-19, tapi setidaknya ada sedikit pertolongan dan kepedulian dari pemerintah.
Terang saja, saat ini kebijakan populer yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah tentang pemangkasan rencana belanja, realokasi anggaran, tambahan uang jajan bagi pemilik kartu sembako, implementasi kartu pra-kerja, hingga relaksasi kredit bagi UMKM.
Khusus untuk relaksasi, terdiri dari penurunan bunga dan penangguhan cicilan demi menyelamatkan profesi ojol, supir taksi hingga nelayan yang memiliki kendaraan cicilan. Lalu, kapan Jokowi akan menyelamatkan petani kopi dan karet?
Rasanya saat ini pemerintah juga perlu menyinggahkan perhatian mereka kepada petani. Tidak hanya soal sembako murah, kartu pra-kerja maupun penangguhan cicilan saja yang diprioritaskan melainkan juga tentang kelancaran produksi dan distribusi hasil-hasil bumi.
Petani karet, mungkin tahunya mereka sekarang barang dan benda banyak pakai karet, tapi kok karet murah. Begitu pula dengan petani kopi, mereka tahunya orang banyak minum kopi, harga kopi bubuk tetap mahal, tapi kok biji kopinya malah murah.
Sekilas, ini hanyalah persepsi kami sebagai rakyat kecil sekaligus orang-orang awam yang sering terkejut dengan fakta-fakta yang "tidak waras" tentang harga. Di samping itu, kami juga cukup khawatir dengan pandemi Covid-19 yang belum kunjung selesai.
Gudang sayur banyak tutup, pun dengan gudang kopi dan karet. Distribusi macet, jalan-jalan sepi, berbagai profesi seakan berhenti hingga mati suri. Padahal, Ramadhan sudah mau menjelang.
Saat ini, pemerintah sedang berjuang untuk menjaga stabilitas harga pangan dan ketersediaan sembako. Maka, tambahkanlah perjuangan itu dengan perbaikan harga hasil-hasil bumi. Agaknya pemerintah kurang sosialisasi hingga beberapa distributor takut beroperasi.
Saya, kami, dan kita semua sangat berharap betul agar bencana dan kesengsaraan ini segera berakhir. Sudah banyak orang berjuang secara luar biasa untuk mengamankan bumi kita. Tapi tolong, yang dibinasakan itu bukan harga kopi dan karet, melainkan pandemi Covid-19.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H