"By the way, apa kabar kalian para mantan?"
"Apakah kalian masih setia duduk bersama lamunan indah masa lalu sembari stalking medsos si dia?"
"Atau, sudah ada yang baru?"
Sungguh terserah dan suka-suka para mantan, kali ya? Yang penting mereka senang, bahagia, gembira, ria, girang, ceria, hingga saya pun ikut sukaria. Begitulah semestinya bersikap, senang melihat orang senang, dan empati saat melihat orang susah.
Sebutan mantan alias bekas pemangku jabatan dalam kisah percintaan biasanya dinobatkan setelah seseorang mendapatkan berbagai kejutan kenyataan.
Entah itu soal si dia yang sudah tak cinta lagi, si doi yang kedapatan selingkuh, atau soal si beliau yang mengaku sudah dapat cinta baru.
Sayangnya, berbagai kejutan ini kebanyakan malah membuat para kekasih mengambil label mantan dengan berat hati sandi asma menderita.
Terang saja, ditinggalkan seorang kekasih pada saat lagi sayang-sayangnya akan begitu sakit jika dirasa. Ibaratkan jatuh dari sumur setinggi 2 meter, jika bukan karena ajal kita tidak akan langsung mati. Paling-paling hanya mengalami luka, lecet hingga patah kaki.
Lebih dari itu, yang semakin membuat para mantan menderita adalah sedawai penyesalan. Sesal mengapa dulu bisa semudah itu jatuh cinta, kecewa mengapa dulu langsung saja terima bunga, dan berawai mengapa dulu harus terus makan bakso bersama dengan kuah romantisme.
Lagi-lagi tidak disangkal bahwa cinta itu senantiasa membutakan hingga seseorang yang menyelam di dalamnya tidak sadar bahwa ia sudah tertelan air derita. Tidak laki-laki, pun juga perempuan.
Laki-laki sibuk menghabiskan waktunya untuk membongkar uang tabungan dan berbelas kasih dengan orang tua hanya demi mempersembahkan cokelat, makan siomay serta jalan-jalan dengan pacarnya.
Perempuan? Mungkin ia sibuk gonta-ganti warna hijab, giat dandan, kabur dari tugas cuci piring, hingga menghabiskan make up.
Terang saja, siapa yang tidak ingin tampil sempurna di depan pasangannya? Biarpun hanya sekadar pacar, jika yang tertuang dalam relung hati adalah cinta monyet, maka perbaikan penampilan secara fisik akan terus diperjuangkan. Sampai kapan? Sampai putus, hahaha
Ya, beruntung jika cinta itu berakhir dengan menikah. Tajuk derita akan berubah jadi headline yang terpampang besar dengan judul "Samawa". Duh, So Sweet!
Fenomena Kaum Laki-laki yang Sering Dicap "Gombal Lovers"
"Semua laki-laki itu sama saja!"
Anggapan ini seringkali keluar dari mulut para perempuan yang sedang terjangkit derita. Sebabnya mungkin beda-beda, tapi kesimpulan kadang seenaknya saja disamaratakan, dianggapnya semua laki-laki adalah biangnya derita.
Laki-laki sebut ini, dianggapnya rayuan gombal. Laki-laki bilang itu, dianggapnya sok perhatian. Laki-laki berbuat sebegini, dianggapnya cari muka. Laki-laki bersikap sebegitu, dianggapnya modus. Tapi, giliran laki-laki berbuat salah, langsung dicap "kamu jahat"! Hmm
Padahal, laki-laki juga punya ketulusan untuk mendulang sebutir romantisme, kan? Tentu saja, jika seorang laki-laki sudah cinta maka akan ada gejolak hati dan pikiran untuk menampilkan perilaku baik. Bukan untuk dianggap baik, melainkan perwujudan dari sebuah ketulusan.
Maka darinya, rendah sekali nilai ketulusan seorang laki-laki jika perbuatan baiknya dicap "Gombal Lovers". Gara-gara cap ini, laki-laki seakan dianggap gagal untuk menawan hati, serta kurang tulus karena dikira hanya pandai merayu dan cari perhatian.
Atau, malah perempuannya yang terlalu bawa-bawa perasaan? Kadang, laki-laki datang dan singgah ke depan wajah perempuan hanya untuk mengucapkan selamat pagi atau sekadar memberi sedikit apresiasi.
Atas perjumpaan itu, tidak semua laki-laki mengharapkan timbal balik dan balasan berupa curahan rasa hingga bercupak-cupak. Mereka hanya ingin menyampaikan, dan perkara respon akan ia kaji kemudian.
Bukankah begini caranya membedakan mana laki-laki yang benar cinta dan laki-laki yang main cinta? Begitulah, cara laki-laki menempatkan sebuah cinta berbeda-beda. Ada yang berbentuk ungkapan kata, ada pula yang berbentuk sikap yang tidak biasa.
Dari perbedaan ini, tidak semestinya semua laki-laki dicukur rata dan dianggap Gombal Lovers semua. Tapi, jika perempuan tetap kukuh dengan argumen "semua laki-laki itu sama saja" dan "semua laki-laki itu gombal lovers" maka ada yang salah dengan hati perempuan itu.
Entah ia susah move on dari derita lama, entah ia sudah berkali-kali tersakiti dan menyusun serpihan hati secara mandiri, atau bisa juga karena ia terlalu sulit menerima hal baik dengan tulus.
Permasalahan ini cukup krusial sebenarnya, tambah lagi jika derita dan pengalaman-pengalaman duka cinta sudah dialami semenjak seorang pasangan menjalin sebuah cinta monyet. Sudah cinta monyet, terlalu bawa perasaan pula! Jelas saja jadi susah move on.
Tapi, meski sudah berlarut-larut dalam kurungan susah move on, jangan pula terlalu menutup diri untuk sekadar menghargai. Walaupun soal tulus atau pamrihnya kita tidak tahu, tetap saja setiap kebaikan perlu diapresiasi.
Mengapresiasi merupakan salah satu bentuk dari kegiatan move on dan menata diri. Sekalian juga untuk belajar mengerti dan tidak ringan mulut menjustifikasi.
Gombal tidaklah selalu lebai, dan semua laki-laki tidak hanya bisa gombal. Berkali-kali mereka juga mau berbuat lebih dan mewujudkan manisnya cinta dari sisi ketulusan.
Sejatinya, perwujudan manisnya cinta ini akan lebih indah jika disandingkan dengan kata pengertian. Untuk itu, sesekali mengertilah!
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H