Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Isi Buku Pelajaran Mau Dirombak? Bagus, Deh!

5 April 2020   17:53 Diperbarui: 5 April 2020   17:49 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.silabus.web.id

Akhirnya, Mas Nadiem mulai menyadari bagaimana beratnya beban siswa hari ini. Bukan hanya beban kurikulum 2013 dari komponen mata pelajaran, tapi juga beban atas banyaknya buku.

Hal ini beliau sadari setelah meratapi skor kemampuan membaca para siswa di Indonesia yang lebih rendah dibanding kemampuan Matematika dan Sains menurut penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018.

Untuk diketahui, skor berturut-turut untuk kategori Membaca, Matematika, dan Sains adalah 371, 379, dan 396. Nilai ini mengalami penurunan dibanding tes di tahun 2015, di mana berturut-turut Membaca, Matematika, dan Sains kita meraih skor 397, 386, 403.

Cukup menyedihkan kiranya, semakin bertambah tahun kok skor kita semakin turun. Lebih lagi jika menatap kemampuan rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang sudah berada di angka 487. Duh, jauh sekali!

Dari sini, tampak bahwa keberadaan Kurikulum 2013 belum mampu berbicara lebih untuk mendongkrak semangat literasi. Untuk itulah, menurut Mas Nadiem perlu ada perubahan besar-besaran dengan tema cinta membaca.

"Untuk meningkatkan literasi harus mengubah paradigma, buku-buku yang digunakan di sekolah selama ini hanya fokus ke buku-buku paket pembelajaran dan kurikulum, tapi yang lebih penting lagi bagaimana agar mereka mencintai membaca." kata Mas Nadiem lewat konferensi video dari kantornya di Jakarta, Jumat  (03/04/2020).

Rasanya perlu kita garisbawahi bahwa mengubah paradigma merupakan hal yang sulit, terlebih lagi bagi siswa. Terang saja, beban buku paket pembelajaran dan kurikulum 2013 saja sudah bertumpuk, bagaimana mau tambah beban!

Kita perlu melihat fakta bahwa di setiap harinya siswa bisa menenteng buku sampai dua tas dari rumah ke sekolah. Bayangkan bila beban ini dipikul oleh siswa-siswa SD. Beratnya, barangkali lebih dari 5 kilogram dan jika keseringan, bisa-bisa mereka demam.

Tapi, mau bagaimana lagi? Tuntutan kurikulum 2013 memang begitu. Paling-paling, jika suatu hari siswa merasa keberatan membawa buku, mereka akan meninggalkannya di laci kelas. Lalu, apa yang akan terjadi?

Akhirnya, di ujung semester buku-buku utama kurikulum 2013 itu tertukar dan bahkan ada yang sampai hilang. Seperti inilah kisah-kisah lampau yang saya temui selama hampir dua tahun bekerja sebagai staf di perpustakaan sekolah SMP.

Dalam setiap semesternya, lebih kurang ada 12-13 buku pelajaran yang mesti diambil oleh siswa. Gratis? Tentu saja, modal siswa hanyalah wajib membawa sampul saja.

Sayangnya, meskipun gratis tidak semua siswa mau mengambilnya. Berkali-kali saya sempat berkoar keliling kelas hanya untuk mengajak siswa mengambil wadah ilmu mereka.

Artinya, jangankan mau berbicara semangat literasi, buku pelajaran yang wajib saja malas mereka ambil. Kalaupun sudah diambil, entah dibaca atau tidak. Dan juga, bagaimana dengan nasib tas serta ransel mereka? Tiap semester bisa ganti-ganti, kali ya!

Isi Buku Pelajaran Mau Dirombak? Bagus, deh!

Ilustrasi: www.silabus.web.id
Ilustrasi: www.silabus.web.id

Buku pelajaran banyak bahkan sampai dua tas, tapi karakter siswa segitu-segitu aja? Sepertinya ada yang salah dari buku-buku itu. Entah tentang muatan pembelajaran karakternya, tentang ketebalan bukunya, atau tentang minat belajar di dalamnya semua patut untuk dikaji.

Buku yang tebal tapi kurang muatan, barangkali bisa dipangkas dan dipadatkan. Hal ini juga jadi pembahasan Mas Nadiem bersama Kemendikbud.

"Apakah artinya mata pelajaran dikurangi atau konten per mata pelajaran dikecilkan? Ini masih dikaji tim kami. Jadinya saya belum bisa jawab. Tapi yang sudah jelas beban siswa dengan jumlah konten dan bahan yang banyak sekali pasti akan kita tangani." jelas Mas Nadiem.

Jika isi buku yang dirombak, agaknya tidak masalah. Tapi, jika mata pelajaran yang dirombak atau dikecilkan, ini yang bisa menjadi masalah besar. Terang saja, jika mata pelajaran disedikitkan, guru-guru mapel akan ditaruh ke mana? Lagi, Mas Nadiem mesti mengkajinya.

Bahkan, jika menimbang kenyataan hari ini agaknya mata pelajaran akan lebih bagus jika ditambah. Ada Prakarya, Kewirausahaan, hingga Bahasa Daerah (Muatan Lokal) kiranya patut untuk dipertahankan.

Tapi, kembali membahas keinginan Mas Nadiem, yang mungkin akan menemui titik terang di sini adalah soal perbaikan isi buku. Jujur saja, isi buku kurikulum 2013 hari ini cukup membingungkan, terutama bagi guru dan siswa tingkat SD.

Di sana ada pembelajaran Tematik yang mata pelajarannya dikelompokkan ke dalam beberapa tema. Isinya seperti es campur, karena setiap kali ganti halaman berganti pula mata pelajaran.

Di satu sisi, niatnya memang bagus karena berusaha untuk mengaitkan materi ke dalam beberapa mata pelajaran. Misalnya seperti materi longsor, muatannya ada pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan PKn.

Tapi di sisi lain, siswa akan kebingungan jika ditanya hari ini belajar mata pelajaran apa. Selain itu materi berikutnya hanya akan berganti tema sehingga siswa tambah terbebani saat ujian semester tiba.

Lebih lanjut, siswa juga cukup kesusahan karena isi buku kurikulum 2013 "tidak lengkap" sehingga siswa mesti mencari sendiri materi tambahannya. Baik melalui internet, jelajah buku perpustakaan, atau bisa juga dari media televisi.

Bagus memang, karena siswa dituntut untuk kreatif, inovatif dan mandiri. Tapi apakah semua sekolah di Indonesia sudah sanggup? Menimbang soal fasilitas pendidikan yang hingga hari ini masih senjang, maka jawabannya adalah belum sanggup.

Terang saja, jangankan mau bicara soal internet atau pun sarana ilmu termuktahir hari ini, revisi buku ajar sebagai penopang utama pembelajaran saja masih sering telat sampai.

Kadang, buku revisi terkini baru sampai saat siswa sudah melaksanakan Mid Semester. Ini masih di sekolah-sekolah populer alias rujukan. Di sekolah pelosok malah lebih parah lagi, revisi buku terbaru sampai saat siswa sudah memasuki semester dua. Jauh sekali, kan!

Yang membuat kita semakin sedih adalah, revisi buku yang dilakukan setiap tahun ini ternyata isinya hampir sama saja. Cuma beda halaman, tapi isi materi secara keseluruhan masih sama.

Kalau sudah seperti ini, tidak salah kan jika muncul opini bahwa revisi buku hanyalah bagian dari proyek alias program buang-buang anggaran pendidikan?

Opini ini, baiknya pemerintah sendiri yang menjelaskan seperti apa sebenarnya urgensi dari revisi dan rombak isi buku, termasuk juga dengan rencana terbaru penyederhanaan kurikulum.

Jika isi buku dirombak untuk kemudian dilengkapi konten-konten life skill dan soft skill yang bertajuk pemantapan karakter, maka bagus, deh!

Sejatinya, pertimbangan rombak isi buku tidak hanya didasarkan dari tebal-tipis buku melainkan juga tumpang-tindih konten.

Selain itu, karena saat ini kita sudah berdiri di era Merdeka Belajar maka perlu ada rumusan tentang kemerdekaan siswa dalam memilih materi pembelajaran. Materi ini didasarkan pada minat belajar dan disesuaikan dengan kebutuhan, serta karakteristik siswa.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun