Kembali mengulik keruwetan administrasi guru di tengah pandemi Covid-19, agaknya Jokowi datang di saat yang kurang tepat. Pemerintah mestinya meningkatkan fokus terhadap wabah yang sudah lama membuat masyarakat gemetaran, bukan malah mengulang topik.
Terang saja, komplain tentang administrasi guru yang sudah mencapai tingkat obesitas sebenarnya sudah tertuang dalam naskah pidato Mas Nadiem, tepatnya pada peringatan Hari Guru Nasional di bulan November 2019 lalu.
Sudah cukup lama, dan sekarang kembali digaungkan. Pertanyaannya, seperti apa tindak lanjut dari pidato Mas Nadiem yang waktu itu?
Lagi-lagi kita bisa sedikit bersyukur karena Jokowi kembali peduli dengan kesusahan yang dialami oleh guru. Perhatian ini tidak lepas dari terjun bebasnya kualitas pendidikan kita berdasarkan survei PISA.
Dihapusnya UN barangkali bisa dijadikan salah satu pijakan utama dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Tapi, seperti ungkapan pak Jokowi, tekanan beban administrasi cukup mengganggu fokus dan kinerja para guru.
"Ini berkali-kali saya tekankan. Mengenai beban administrasi guru. Guru tidak fokus kegiatan belajar mengajar tapi lebih banyak dipakai untuk hal-hal yang berkaitan dengan administrasi. Ini tolong digarisbawahi," ujar Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (03/04/2020).
Kembali dibahas, sebenarnya polemik administrasi guru ini bukanlah hal yang sederhana. Makin ruwet administrasi, maka makin tidak fokuslah guru. Menyederhanakan administrasi juga tidak mudah, karena akan berkaitan langsung dengan birokrasi dari pusat dan daerah.
Guru, Antara Tertekan dan Ditekan
Jokowi mungkin cukup tertekan dengan peringkat PISA hingganya beliau menekankan para guru untuk lebih banyak berfokus pada kegiatan mengajar. Tapi, guru juga tertekan!
Administrasi guru dalam aspek perangkat pembelajaran saja jika disebut semua maka nominalnya lebih dari 20 item. Kan sudah ada kebijakan RPP 1 lembar? Benar, tapi 1 lembar RPP tidak lebih dari sekadar master plan, sedangkan dokumen kurikulum begitu bertumpuk.
Belum lagi tentang evaluasi pembelajaran. Kalau saja satu kabupaten dalam setiap tingkatan sekolah ingin seragam dalam hal evaluasi, maka akan butuh minimal 3 hari untuk membuatnya.
Lalu, apa kabar sekolah? Tentu saja absen dulu, guru mesti menyeragamkan kisi-kisi soal, memilah butir-butir soal, hingga membahas teknis pelaksanaan evaluasi.
Apakah setelah ini akan selesai? Belum, evaluasi pembelajaran memakan waktu yang cukup panjang hingga guru dibuat pusing karenanya.
Kadang, guru sangat bersyukur jika sekolah mengadakan class meeting karena itulah momentum yang tepat bagi mereka untuk mengolah hasil evaluasi. Tambah lagi dengan adanya perbaikan, remedial hingga input nilai.
Di beberapa sekolah, teknologi untuk menunjang hasil evaluasi sudah ada. E-rapor misalnya, sebagai wadah input nilai siswa secara online. Kedengarannya mungkin enak dan memudahkan, tapi nyatanya?
Adanya e-rapor malah membuat guru kerja dua kali. Guru mesti mengoreksi ujian siswa secara manual, menyalinnya di buku nilai, kemudian menginputnya secara online ke e-rapor.
Tidak hanya nilai ujian akhir semester saja, nilai-nilai harian yang sudah guru catat di buku nilainya mesti dimasukkan pula ke e-rapor.
Bayangkan bila kemudian sang guru mengajar 24 jam (3 jam x 8 rombel kelas), berarti ada ratusan siswa yang mesti diolah nilainya. Mungkin, guru butuh waktu 1 minggu untuk menyelesaikannya.
Lah, mengapa tidak dari awal-awal semester? Namanya juga aplikasi elektronik, mesti sering-sering diupdate dan tidak jarang pula mengalami error-system.
Guru mungkin tertekan atas keruwetan ini, tapi karena sudah kewajiban mereka tetap akan memenuhinya. Anggaplah ini administrasi pokok alias hal-hal prioritas yang tidak boleh guru tinggalkan.
Lalu, apakah administrasi guru selesai di sini? Tentu saja belum.
"Guru juga wajib ikut pelatihan!"
"Guru juga ingin naik pangkat!"
"Guru juga ingin legalisir berkas!"
"Guru juga ingin menghadiri organisasi-organisasi bentukan guru!"
Sayangnya, pelatihan pengembangan kompetensi guru seringkali diadakan bertepatan dengan jam sekolah. Karena namanya pelatihan, berarti tidak cukup 1 hari, kan? Tentu saja, minimal sampai 3 hari guru absen sekolah.
Pemberkasan juga demikian. Saat sertifikasi mau cair, pemberkasan dahulu. Saat ada permendikbud atau kebijakan baru dari daerah, pemberkasan lagi. Rentang waktunya, paling hanya dua minggu.
Bayangkan bila ada guru se-kabupaten legalisir ijazah dan SK, apakah akan selesai dalam 1-2 hari? Rasanya, hampir tidak mungkin kecuali sistem birokrasinya yang disederhanakan.
Hal-hal inilah yang kemudian menjadikan guru seakan ditekan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kasihan, jika ganti kurikulum, maka guru harus beradaptasi dan merevisi berkas-berkas administrasinya.
Pemerintah pusat, Jokowi maupun Mas Nadiem mungkin bisa berbicara tentang kebijakan penyederhanaan administrasi guru. Tapi, apakah kebijakan ini sudah sampai ke pemerintah daerah?
Akhirnya, permasalahan ini tidaklah sederhana. Jika tidak ada koordinasi yang mantap antara pemerintah pusat dan daerah, maka ruwetnya masih akan sama saja.
Keberadaan teknologi barangkali bisa menjadi jalan tempuh utama untuk menyederhanakan birokrasi dan mendietkan administrasi guru. Tapi, bukankah keberadaan teknologi hari ini lebih banyak yang sekedar "memindahkan data dari cetak ke elektronik?"
Jika iya, maka apa artinya teknologi. Sama saja dusta penyederhanaan birokrasi itu.
Kiranya, kebijakan RPP 1 lembar juga demikian. Yang perlu dipertanyakan adalah, sedalam apa esensi dari RPP singkat ini? Apakah akan dijadikan master plan, sebatas kelengkapan dokumen yang kemudian minta dirincikan, atau benar-benar jadi gaungan Merdeka Belajar?
Yang jelas, jangan hanya kulit luarnya yang indah sederhana,tapi isinya tetap pahit dan asam. Jika harapannya adalah Merdeka Belajar, maka fokus mengajar dan pemantapan karakterlah tujuan utamanya. Guru akan fokus jika mereka tidak obesitas bebannya, tidak dalam keadaan tertekan, tidak juga dalam keadaaan ditekan.
Lagi-lagi ini tidak sekadar perbaikan dan pendietan administrasi guru saja. Kita butuh perbaikan menyeluruh baik dari aspek kebijakan, anggaran, infrastruktur, koordinasi pusat dan daerah, manajemen sekolah hingga perbaikan lingkungan belajar siswa.
Guru punya beban, siswa punya beban, dan pemerintah juga punya beban. Beban ini mesti kita angkat bersama untuk mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan Indonesia.
Setiap dari kita adalah komponen-komponen pendukung yang me-make up wajah pendidikan. Maunya, pendididikan kita tidak hanya elok hasil, tapi juga elok secara proses baik dari luar maupun dari dalam.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H