Warga yang datang ini juga baru tersadar jumlahnya ribuan sejak digelarnya posko-posko di perbatasan provinsi Bengkulu. Artinya, tidak menutup kemungkinan bahwa sebelum posko didirikan sudah banyak orang-orang yang masuk ke Bengkulu.
Lagi, ini cukup mengkhawatirkan sekaligus dilema. Khawatir, bisa saja para pemudik ini bawa virus dan belum dideteksi. Dilema, karena mereka sudah luntang-lantung di negeri orang.
Barangkali, pendirian posko di perbatasan Bengkulu ini merupakan suatu tindakan yang cukup cepat tanggap. Tapi, mengingat adanya konfirmasi kasus Covid-19 dan itu terjadi di dalam Bengkulu sendiri, maka pemerintah Bengkulu sudah harus berjuang dari luar-dalam.
Selain berjuang secara luar-dalam, pihak-pihak terkait juga mau tidak mau mesti kerja dua kali. Upaya ini dilakukan demi keamanan masyarakat setempat. Di posko perbatasan dilakukan check-up, dan di terminal atau tempat pemberhentian bus juga dicek kesehatannya.
Hal ini tidak lepas dari banyaknya pemudik yang datang melalui transportasi umum seperti bus, travel maupun kendaraan pengangkut barang.
Selain cek kesehatan, penyemprotan disinfektan pula rasanya perlu dilakukan baik di terminal maupun di bus-bus yang masuk ke Bumi Rafflesia. Dan tidak menutup kemungkinan, tempat-tempat singgah seperti rumah makan juga perlu mendapat perhatian.
Artinya, mesti ada koordinasi dan kerja sama antar lintas sektor baik dari Dinas Kesehatan, pihak keamanan, serta Dinas Perhubungan.
Syahdan, dari sisi masyarakat Bengkulu sendiri sudah berupaya maksimal dalam menjalankan kegiatan belajar dan bekerja dari rumah. Libur sekolah juga sudah diperpanjang hingga pertengahan April sembari menantikan perkembangan lebih lanjut.
Tidak hanya sekolah, pengajian sudah dihentikan sementara. Resepsi sudah dilarang, begitu pula dengan kegiatan berkerumun lainnya.
Berbagai kabupaten di provinsi Bengkulu sudah mulai giat menyemprotkan disinfektan ke jalan-jalan dan desa-desa. Semua diupayakan untuk menutup peluang penyebaran Covid-19.