Hari ini, kisah Covid-19 seakan sudah memasuki episode kepelikan. Beban-beban kemanusiaan sudah mulai terasa dan mengguncang kedamaian negara.
Padahal, kurang dari satu bulan lagi kita akan memasuki Ramadhan. Tambah berat rasanya jika episode Covid-19 ini belum diakhiri. Jelasnya, kita tidak ingin ada penambahan korban lagi. Kita pula tidak ingin ada penambahan kasus Covid-19 lagi.
Terang saja, per tanggal 27 Maret 2020 saja sudah ada 893 orang yang positif Covid-19 di Indonesia. Dari kasus ini terkuak data 35 orang sembuh, dan 78 orang meninggal dunia.
Selain itu, penyebaran Covid-19 juga sudah mulai merajalela ke sebagian besar NKRI tercinta ini. Â Total sudah ada 27 provinsi tercemari corona, dan ini menandakan bahwa kita mesti segera berperang melawan virus yang tak tampak ini.
Mas Nadiem sendiri, menganggap Indonesia saat ini berada pada kondisi perang sehingga dirinya bersama Kemendikbud membuat program relawan dalam menghadapi Covid-19.
Relawan alias amunisi ini terutama diambil dari para mahasiswa tingkat akhir dari rumpun ilmu kesehatan. Sebanyak 15.000 peserta telah mendaftar menjadi relawan pada tahap pertama program tersebut.
"Ini sangat luar biasa. Gerakan ini bisa terwujud karena motivasi kuat para mahasiswa kesehatan dan bidang-bidang lain yang ditunjang semangat gotong-royong memberikan kontribusi secara sukarela bagi masyarakat demi memerangi pandemi yang mengancam masa depan Indonesia," ucap Mas Nadiem pada Kamis (26/03/2020).
Baik Mas Nadiem maupun kita semua patut mengapresiasi 15.000 orang yang sukarela dan mau terjun langsung memerangi Covid-19. Terang saja, saat ini kondisi masyarakat dalam negeri tidaklah stabil. Ada yang terlalu khawatir, dan ada pula yang panik berlebihan.
Untuk meminimalisir situasi yang kurang kondusif ini, memang diperlukan aksi nyata dari orang-orang yang cukup berkompeten di bidang kesehatan. Bukan semata untuk terjun langsung, melainkan untuk memberikan edukasi dan ketenangan kepada masyarakat.
Aksi Pencegahan Oke, Tapi Aksi Perawatan, Pikir-pikir Dulu
Barangkali relawan selama ini yang kita pahami secara umum adalah mereka yang menunjukkan aksi nyata berupa fisik. Katakanlah seperti relawan bencana alam yang membantu mengobati korban yang terluka maupun melakukan perawatan secara intensif.
Namun, untuk pandemi Covid-19 kali ini agaknya relawan lebih diutamakan berpartisipasi langsung dalam tindakan pencegahan.
Relawan mahasiswa ditugaskan untuk melakukan program-program preventif dan promotif melalui komunikasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat terkait Covid-19. Kolaborasi dan koordinasi terhadap pemerintah daerah sangat penting di sini, terutama bidang pelayanan.
Akan percuma banyak relawan yang turun hinggalah belasan ribu, tapi mereka tidak tahu apa-apa saja kebutuhan di lapangan. Artinya, butuh pemetaan kebutuhan agar nantinya relawan dapat bekerja secara efektif.
Maka dari itulah Ketua Komisi X, Syaiful Huda mengingatkan agar para relawan yang direkrut dari kalangan kampus mendapatkan orientasi terkait tugas mereka terlebih dahulu. Hal ini sangatlah penting dan krusial sehingga mereka bisa bekerja lebih efektif.
Terang saja, walaupun julukan para relawan ini adalah mahasiswa tingkat akhir yang sudah terfokus pada jurusannya masing-masing, tetap saja secara pengalaman masih kurang memadai.
Saat menjadi relawan, seseorang akan mendapatkan banyak tekanan di lapangan baik itu tekanan dari korban maupun atasan (katakanlah seperti pimpinan gugus). Jika relawan tidak kuat mental dan kurang bijaksana menyikapinya, bisa saja kehadiran mereka malah menyusahkan.
Lebih dari itu, karena Covid-19 termasuk wabah yang sensitif dan mudah menular maka para relawan tidak bisa menyamakannya dengan virus atau pun bencana alam lainnya.
Jika suatu saat mereka kekurangan APD, maka tidak boleh secara memaksakan diri untuk merawat korban Covid-19. Di sinilah pentingnya orientasi dan pembekalan. Karena yang direkrut adalah mayoritas anak muda, maka jiwa-jiwa kecerobohan mesti ditekan kuat.
Lagi-lagi persiapan APD sangat penting di sini. Tidak hanya relawan yang banyak, ketersediaan APD juga harus banyak. Hal ini pula yang kembali ditekankan oleh Syaiful Huda.
"APD ini penting karena jangan sampai anak-anak kita yang jadi relawan malah menjadi korban penularan Covid-19 karena tidak memakai APD sesuai standar WHO," ucap Huda pada Kamis (26/03/2020).
Karena namanya anak muda, maka semangatnya pasti tinggi dan membara. Lebih cocok kiranya semangat ini disalurkan kepada tindakan pencegahan penyebaran Covid-19, terutama di daerah para relawan masing-masing.
Jujur saja, menyikapi situasi hari ini tidaklah mungkin 15.000 relawan ini diajak berkerumun dan bertatap muka. Maka dari itulah kerja relawan bisa dimulai dari daerahnya sendiri dengan memberikan edukasi, informasi serta ketenangan kepada segenap masyarakat.
Sedangkan untuk perawatan secara langsung, sebaiknya pihak perekrut pikir-pikir dulu. APD sudah tersedia atau belum, kemudian para relawan sudah berkompeten atau belum.
Yang jelas, masa orientasi yang hanya dalam beberapa hari itu tidaklah bisa menjamin kompetensi para relawan seutuhnya. Artinya, jangan semena-mena menempatkan relawan di posisi rentan tertular Covid-19 hanya karena faktor kebutuhan dan kepentingan.
Dan terpenting, yang mesti didahulukan para relawan maupun kita semua adalah tentang ketenangan dan upaya perlindungan dasar.
Bergiat cuci tangan, menjaga kebersihan, tidak malu mengakui jika ada gejala sakit, tidak berkerumun, serta menjaga diri agar tetap aman dan sehat semuanya adalah upaya-upaya perlindungan dasar.
Pencegahan penting, perawatan penting, memerangi Covid-19 juga penting. Tapi, sebelum menggeluti semua kepentingan itu, upayakan dulu dari diri sendiri agar tetap terlindungi.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H