Bohong besar jika ada orang yang mendeklarasikan bahwa dirinya tidak pernah salah. Setiap manusia pernah salah dan itulah fitrahnya.
Mengapa ada aturan hubungan kepada Tuhan, kepada sesama manusia, kepada hewan, dan kepada lingkungan, itu karena setiap manusia pernah salah berbuat.
Kepada Tuhan, berkali-kali seseorang ingkar. Kepada sesama manusia, berkali-kali seseorang menzalimi, menghakimi, memanfaatkan kebijakan demi ego sendiri, merampas hak dan kewajiban, hingga menyakiti hati.
Kepada hewan, berkali-kali seseorang mengusik kenyamanan hidup para hewan, berkali-kali pula ia membunuh serta memutuskan mata rantai kehidupan hewan. Dan kepada lingkungan, berkali-kali seseorang menyumbatkan sungai, "menggelitik" hutan hinggalah terjadi bencana.
Apakah kesalahan-kesalahan ini bisa dimaafkan? Saat sebuah kesalahan telah melanggar perintah Tuhan, seseorang bisa bertaubat. Saat seseorang berbuat kesalahan kepada sesama, ia bisa segera meminta maaf.
Sedangkan saat seseorang mengusik ketentraman hewan dan lingkungan, ia perlu menjalankan sanksi karena keduanya tidak bisa menerima permintaan maaf. Ruginya, hewan saat terusik kadang langsung balas dendam dengan turun ke perumahan warga.
Lingkungan juga demikian, suka balas dendam dan datang sebagai banjir, longsor, hingga kebakaran hutan. Satu orang yang mengusik lingkungan, satu kabupaten bahkan provinsi bisa kena getahnya.
Lalu, bagaimana dengan hubungan sesama manusia?
Perlu ditegaskan lagi bahwasannya membuat kesalahan adalah hal yang wajar dilakukan. Sayangnya, seseorang kadang mendalihkan sendiri kewajaran itu dengan bersikap tidak wajar. Buktinya?
Saat pemain bola terkenal seperti Lionel Messi gagal mencetak gol, ramai penonton di televisi menghujat Messi dan menganggapnya telah melakukan kesalahan besar. Padahal, yang berkomentar hanya mampu ngomel saja, kan? Tentu saja.
Satu saja kesalahan yang tampak dari seseorang, hilang dan tertutupi semua kebaikannya. Harusnya tidak seperti itu, kan?
Saat kertas putih kita beri satu tanda titik hitam, bukan berarti kertas tadi jadi hitam. Kalau kertas tadi kita tumpahkan tinta, barulah ia menghitam semua. Itulah mengapa sering kita temukan ungkapan "lebih mudah menghakimi daripada menghargai".
Kesenjangan ini akan begitu berbahaya saat mulai melanda dunia kerja, terlebih lagi saat pekerjaan dilakukan dengan berkelompok.
Satu yang salah, semua anggota kena tinta. Jika semua bertanggung jawab atas satu, enak pula! Ini tidak, malah satu yang bertanggung jawab kepada semua.
Perihal ini pula yang mengingatkan saya dengan perkataan salah satu guru senior di SD tempat saya mengajar. Beberapa hari lalu sebelum libur, beliau yang merupakan guru kelas I mengatakan kepada saya:
"Ozy, setelah setahun kamu mengajar di sini barulah tampak, kan? Tampak mana orang yang kerja sesukanya, mana yang suka cari muka, dan tampak mana yang suka menimpakan kesalahannya kepada orang lain."
Saya pun sedikit mengangguk, karena saya sadar bahwa akhir-akhir ini ada beberapa prinsip baik yang mulai goyah. Misalnya tentang disiplin dan menunda-nunda pekerjaan untuk berperang di garis akhir.
Bagaimana tidak goyah, yang disiplin dipandang cari muka, yang kerjanya cepat dan kemudian ada setitik kesalahan langsung dihujat sok ingin jadi pemenang.
Namun, bukannya menghujat balik, saya malah sadar bahwa wajar di luar sana banyak orang yang memilih resign dari pekerjaan, padahal kerjanya enak, gajinya cukup dan terpenting tidak jadi pengangguran. Ternyata, "Kurang Kuat Mental!"
Hanya karena membuat beberapa kesalahan seseorang bisa saja langsung jatuh, menganggap dirinya lemah, bahkan bodoh. Tambah lagi jika orang-orang di sekitarnya kurang mampu mengapresiasi makna terdalam dari kesalahan itu sendiri.
Sangatlah wajar kiranya situasi seperti ini akan menghasilkan peperangan di ruang kerja. Sudah melakukan kesalahan, ditimpakan sebagai biangnya salah, pula! Semakin jelaslah bahwa kemudian orang-orang yang mampu bertahan adalah mereka yang kuat prinsip dan mental.
Membuat Kesalahan Lebih Baik daripada Memalsukan Kesempurnaan
Sebenarnya, dibandingkan dengan membuat kesalahan ada perilaku lain yang lebih bahaya. Ialah memalsukan kesempurnaan. Sederhananya, seseorang berbuat salah namun tak mau mengakui kesalahannya bahkan mengklaim dirinya sudah benar dan sempurna.
Perumpamaannya, saya teringat dengan tulisan Pak Tjip "Jauh Bau Bunga, Dekat Bau Bangkai". Seseorang yang memalsukan kesempurnaan, dari jauh tampaknya begitu rapi, indah dan enak dilihat. Tapi saat sudah dekat dan kemudian kita tahu itu adalah sebuah kepalsuan yang terolesi, maka terlukislah perumpamaan "Jauh Bau Bangkai, Dekat Bau Bangkai".
Baca perumpamaannya saja sudah tidak enak, kan? Hohoho. Itu hanya sekadar penggambaran betapa buruknya perilaku seseorang yang memalsukan kesempurnaan.
Namanya juga palsu. Saat terima barang palsu, kita kecewa. Saat dapat uang dan ternyata palsu, kita pasti kecewa. Apalagi saat banyak janji dan perilaku kepalsuan di depan mata? Sudah pasti kecewa ini akan bertumpuk-tumpuk dan menyakitkan.
Bagi yang mampu memaklumi, barangkali timbul luapan emosi bertajuk nasihat tajam:
"Mengapa kemarin tidak diakui saja ketidakmampuan itu!"
"Mestinya kamu akui dan jelaskan saja kesalahan itu, jangan ditutupi!"
Beruntung jika seseorang, teman atau atasan bisa memaklumi. Tapi, bukankah bunga yang sudah berbangkai tidak bisa dipajang lagi? Nah, inilah yang menjadikannya berat. Membalikkan nada kepalsuan dan menggantikannya dengan irama kejujuran sangatlah sulit.
Sebuah kesalahan kecil saja bisa menghasilkan banyak hujatan, apalagi sebuah kepalsuan yang dipalsu-palsukan! Tambahlah parah dan kian susah.
Maka dari itulah, daripada memalsukan sebuah kesempurnaan lebih baik seseorang membuat kesalahan dan kemudian mengakuinya. Soal orang menerima atau tidak, itu hak dan kebijaksanaannya dalam mengikuti aturan hubungan sesama manusia.
Memalsukan kesempurnaan sama saja seperti dusta. Dusta mengarah kepada kejahatan dan bisa merugikan diri sendiri dan semua orang. Hal ini ditegaskan dalam perkataan Nabi dari Ibnu Mas'ud ra:
"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." HR. Muslim no. 2607
Saat kita berdusta dan kemudian dicatat oleh pihak kepolisian maupun tetangga saja sudah begitu pilu dan menyakitkan. Apalagi sampai mendapat cap dusta dari Tuhan. Jelasnya, selama matahari belum terbit dari barat, selama itu pula diri ini punya kesempatan untuk bertaubat.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H