Penduduk bumi Indonesia sempat heboh setelah Presiden Jokowi secara resmi memutuskan UN ditiadakan. Tajuk #UNBK dan "Nadiem" sempat menjadi trending topik di Twitter. Lebih dari itu, para netizen juga aktif berkomentar dan saling bersahut-sahutan.
Terang saja, lahirnya kebijakan ini begitu mengejutkan semua pihak, baik dari kalangan yang terkait langsung dengan pendidikan maupun masyarakat.
Biarpun ini mengejutkan, pemerintah memang secara tidak langsung sudah dituntut untuk memberikan keputusan terkait pelaksanaan Ujian Nasional 2020.
Jika menilik tanggal, UN sebenarnya sudah terjadwal akan digelar satu bulan lagi. Saat kita sanding dengan kisah coronavirus yang belum usai, agaknya UN tidak akan mampu dilaksanakan sesuai tanggal. Yang jelas, keamanan dan kesehatan dalam negeri lebih diprioritaskan.
Pertimbangan ini sudah terbahaskan dalam rapat konsultasi yang dilakukan secara daring (online) antara anggota Komisi X DPR RI bersama Mas Nadiem. Hasilnya, mereka sepakat bahwa UN ditiadakan dan hari ini disusul oleh Presiden Jokowi dengan pernyataan resmi.
"Presiden Joko Widodo memutuskan meniadakan ujian nasional (UN) untuk tahun 2020 yang sebelumnya sudah ada kesepakatan UN dihapus mulai tahun 2021,"Â kata Jubir Presiden Fadjroel Rachman dalam keterangan tertulis, Selasa (24/03/2020).
Alasan utamanya, Presiden Jokowi tidak ingin UN dijadikan arena penyebaran coronavirus. Terang saja, kisah wabah ini belum kunjung selesai dan Indonesia masih berada dalam status darurat. Dengan demikian, kesehatan, keamanan dan keselamatan warga adalah prioritas utama.
Namun, pernyataan UN resmi dihapus saja bukanlah pemberitaan yang cukup melegakan. Selain alasan krusial, pemerintah mesti segera menyiapkan opsi lain dari peniadaan UN itu sendiri.
Kalau kita kembali kepada rencana awal, Mas Nadiem inginnya UN diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Tapi, hal ini masih dalam kajian serius sedangkan opsi pergantian UN sudah menuntut di depan mata.
Maka darinya, opsi yang ada sekarang baru dua. Kelulusan siswa, apakah mau ditentukan oleh akumulasi nilai rapor, atau menggelar USBN.
Akumulasi Nilai Rapor
Opsi pertama yang bisa dipakai dalam menentukan kelulusan adalah dengan mengakumulasikan nilai rapor siswa. Hal ini disampaikan langsung oleh ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda.
Artinya, untuk siswa tingkat SMP dan SMA kelulusannya akan didasarkan pada nilai rapor selama tiga tahun, sedangkan untuk siswa tingkat SD diambil dari nilai rapor selama enam tahun.
Nilai-nilai ini kemudian dijumlahkan secara keseluruhan dan berapa hasilnya, itulah nilai akhir siswa. Dalam pengerjaannya, guru bisa mengakumulasi nilai rapor siswa dari rumah. Pertimbangan ini tentu lebih aman daripada memaksa siswa berkumpul.
Jika menilik dari kebijakan Merdeka Belajar, memang UN bukan lagi jadi tolak ukur utama kelulusan siswa. Bagi sekolah yang sudah mampu menerapkan daring, biasanya mereka sudah punya e-rapor. Sedangkan sekolah konvensional bisa mengakumulasi nilai secara manual.
Menggelar USBN
Opsi lain sebagai pengganti UN adalah Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Jika disandarkan kepada sekolah dengan fasilitas online yang mumpuni, maka USBN bisa digelar secara daring.
Mengingat masih banyaknya sekolah yang belum berkecukupan secara fasilitas, sepertinya opsi ini tidaklah lebih baik dari akumulasi nilai rapor.
Barangkali, saat ini sebagian besar sekolah di kota memang sudah mampu berbicara banyak dalam menerapkan pembelajaran online, namun karena kualitas internet yang kurang mapan, bukannya memudahkan malah menyulitkan.
Bayangkan jika kemudian USBN online akan digelar dari rumah. Para orangtua akan kelabakan mencari laptop maupun kuota internet untuk memfasilitasi anaknya. Anak-anak juga belum tentu mahir secara utuh dalam penggunaan internet. Maka, ujung-ujungnya malah berkendala.
Selain berbicara tentang keadilan bersama, pertimbangan lain seperti kendala akan fasilitas internet dan peluang siswa untuk saling berkerumun juga menjadikan pilihan akumulasi nilai rapor lebih aman serta sedikit menghasilkan keluhan.
Salam.