Belum satu minggu libur sekolah, rasanya eksistensi siswa kian tidak terdengar. Mungkin mereka sibuk rebahan, mungkin juga sibuk main game online di rumah. Dan, lebih mungkin lagi bahwa mereka sedang sibuk mengerjakan tugasnya. Hahaha
Belajar dari rumah selama kurang lebih dua minggu, bisa dibayangkan betapa lumayannya tugas yang diterima oleh para siswa. Anggap saja mata pelajaran dalam tiap tingkat kelas ada 10 kemudian dikalikan dengan 14 hari, berarti ada ratusan tugas yang akan mereka terima.
Bisa lebih? Tentu saja, tergantung dan terserah kepada gurunya. Barangkali, pemberian tugas di ujung masa sekolah kemarin juga melalui pertimbangan sikap dari siswa itu sendiri.
Baca juga : Pentingnya Peran Orang Tua dalam Memanajemen Belajar Anak pada Masa Pandemi
Jika mereka tidak buat onar di kelas, mungkin tugasnya sedikit. Tapi, jika mereka membuat keributan dan membuat guru kepanasan di dalam kelas, maka bisa jadi tugas di rumah akan lebih banyak. Hehehe, tidak sepenuhnya seperti ini, ya anak-anak!
Malam ini, saya sempat bertanya kepada para siswa yang pernah saya ajar di SMP dua tahun yang lalu melalui grup WhatsApp. Penasaran, bagaimana rasa hati mereka menjalani sekolah dan mengerjakan tugas dari rumah.Â
"Tangan bengkak, Pak. Nulis terus!"
"Tidak enak, Pak. Kalau tugas sudah selesai, pasti ada lagi tugas tambahan!"
"Libur dengan rasa cemas, Pak!"
"Tugas Matematika kami banyak, Pak. Ada 104 soal. Hmmm"
Sepertinya para siswa SMP ini cukup menderita, ya? Tapi, di ujung percakapan sudah saya berikan motivasi dan sedikit candaan, agar mereka tetap semangat dan bahagia dalam menjalani sekolah di rumah.
Tentu saja, belajar di rumah tidak selalu menyenangkan. Libur dan ditemani dengan banyak tugas yang mesti diselesaikan dalam batas waktu tertentu, mungkin hati mereka akan berkata tidak sanggup.
Baca juga : Mendengarkan Musik Bisa Membantu Kita untuk Meningkatkan Semangat belajar
Tambah lagi jika tugas-tugas itu diketahui secara langsung oleh orangtua mereka. Jika orangtua mendukung sepenuhnya program guru dalam memberikan tugas, maka para siswa siap-siaplah menerima kenyataan bahwa orangtua mereka lebih garang daripada guru-guru di sekolah.
Terang saja, orangtua terutama ibu di rumah seringkali kurang sabar dalam menemani anaknya belajar di rumah.
Ada-ada saja situasi di mana seorang anak lambat dalam menangkap materi pelajaran, ataupun terlupa dengan materi tertentu. Jika situasinya di sekolah dan yang menghadapinya adalah guru, maka guru cenderung lebih sabar dan mau perlahan mengarahkan.
Tapi jika situasinya di rumah? Tidak jarang ibu sudah keduluan marah-marah sebelum anak mengingat materi pelajaran.
Makanya, Lebih Enak Sekolah, Kan?
Saat sekolah rindu libur, saat libur rindu sekolah. Itulah keunikan para siswa, rindunya bukan kepada yang sesuatu yang dijalani melainkan rindu kepada sesuatu yang telah terlewat. Tapi ya, biarlah. Daripada tidak punya kerinduan sama sekali! Hahaha
Kerinduan-kerinduan yang segera ingin mereka dapatkan di sekolah utamanya mungkin uang jajan, baru disusul jumpa teman-teman, jumpa guru, dan mencium aroma pekarangan sekolah.
Baca juga :Â Penerapan Keterampilan Mengajar dalam Upaya Penyampaian Hasil Belajar
Jika siswa libur seperti sekarang ini dan makanannya adalah tugas-tugas, maka uang jajan sulit untuk didapat tiap hari. "Untuk apa banyak jajan, kan sudah makan nasi di rumah". Kalimat inilah yang kiranya menjadi dasar bagi siswa untuk memberi cap orangtuanya pelit. Hohoho
Tapi, begitulah nikmatnya ketika anak-anak berada di rumah dan berkumpul bersama keluarga. Rumah jadi lebih rame dan heboh, dan orangtua cenderung lebih rajin membuat cemilan untuk anak-anaknya. Kalau di sekolah bisa langsung beli, tapi di rumah buat sendiri, dan itu nikmat.
Ibu berubah status menjadi guru kelas, ustazah, guru bimbel, guru piket, petugas kesehatan, koki hingga penjaga sekolah. Sedangkan ayah, bisa jadi kepala sekolah.
Lengkap, bukan? Dari sini, barulah terasa bagaimana berharganya seorang guru untuk anak-anak kita. Betapa sulit pula kerja guru mencerdaskan, mengajar, dan mendidik anak di sekolah.
Kadang hal-hal seperti ini sukar dirasa, kecuali sudah dialami oleh orangtua itu sendiri. Saat orangtua sering marah-marah ketika mendampingi anaknya belajar, saat itulah mestinya mereka sadar bahwa ternyata seorang guru lebih sabar daripada dirinya sendiri.
Tapi tetap, posisi orangtua tidak terganti baik perihal kepentingan anak maupun tentang tanggung jawab.
Di rumah siswa nyaman dengan perhatian orangtuanya, di sekolah, siswa membawa kenyamanan itu untuk kembali bersemangat belajar dengan gurunya. Semoga bencana coronavirus ini bisa segera berakhir, karena siswa sudah rindu dengan sekolah.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H