Berdasarkan instruksi pemerintah, aktivitas belajar di sekolah memang dipindahkan ke rumah. Hal ini digiatkan dalam rangka pencegahan penyebaran coronavirus di satuan pendidikan.
Sekolah yang sudah mendukung pembelajaran online, dipersilahkan belajar via daring atas koordinasi para guru. Baik itu via grup Whatsapp, Webex Video, e-Learning, ataupun aplikasi lainnya.
Sedangkan bagi sekolah yang belum mampu menggelar pembelajaran online, maka cukup memberikan pekerjaan rumah dan tugas-tugas berbasis karakter kepada siswa.
Terang saja, beberapa sekolah termasuk SD kami belum mampu menggelar pembelajaran online dikarenakan sinyal yang belum sampai ke desa.
Jangankan mau buka Google Classroom, mau menelpon teman saja mesti menanti hembusan angin. Siapa tahu, bersamaan dengan lewatnya angin, ada sedikit sinyal yang mampir dan mengendap di handphone.
Akhirnya, pemberian tugas secara terstruktur kepada siswa merupakan jalan yang cukup bijak sembari menanti kembalinya mereka ke sekolah.
Saya sendiri, selaku guru bidang keagamaan sudah menitipkan tugas literasi, proyek, dan beberapa kegiatan rumah untuk siswa.
Tidak terlalu banyak tapi ngena, karena prediksi saya para siswa yang libur akan sibuk pergi ke kebun, membantu orangtuanya. Ya, mayoritas orangtua siswa di SD kami adalah petani kopi dan sayuran.
Ini lebih baik, kan? Daripada mereka yang mengganti libur sekolah dengan liburan dan jalan-jalan keluar kota!
Berkat tugas yang tidak terlalu banyak teori, siswa SD yang imut-imut ini memiliki lebih banyak kesempatan untuk membantu orangtuanya. Lebih tepatnya, kesempatan untuk lebih lama dan lebih dekat dengan orangtua.
Tapi, lebih dari itu kami para guru berharap agar kegiatan "penitipan" siswa kembali ke rumah bisa menyadarkan para orangtua agar mau dan mampu memberikan perhatian lebih kepada anak-anak mereka, terutama tentang perbaikan tata krama.
Terus terang saja, hingga saat ini barangkali masih cukup banyak para orangtua yang sekadar ingin anak mereka sekolah dan kemudian menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada guru.
Sekolah juga sebenarnya cukup bersyukur. Yang jelasnya, masih beruntung anak-anak mau bersekolah biarpun mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh dari kebun ke sekolah. Sebenarnya lebih dari sekadar bersyukur, melainkan para guru bangga mengajar mereka.