Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kadang, Pamer di Medsos Bisa Menjadikan Keirian Netizen Lebih "Kreatif"

17 Maret 2020   20:46 Diperbarui: 17 Maret 2020   20:52 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Facebook.

Medsos, keberadaanmu di bumi ini agaknya begitu mampu menjelaskan keadaan dan keseharian seseorang. Dengan berbagai macam fiturmu, setiap orang semakin mudah mempublikasikan dirinya, menyibukkan dirinya, hingga memamerkan apa yang dipunya.

Unggah ini unggah itu, upload kegiatan ini upload keberhasilan itu, masing-masing darinya seringkali meninggalkan kesan yang tak selalu manis di hati netizen.

Ketika seseorang mengunggah foto dengan mobil baru di media sosial, misalnya. Mungkin niat pengunggah hanya untuk menjelaskan kepada teman-teman dunia maya bahwa dirinya sedang berada di tempat tertentu. Tapi!

Mata-mata dunia maya begitu luas dalam memandang, hingga sesuatu yang tidak ada di foto ikut menjadi biang praduganya.

"Selamat, ya! Sekarang pekerjaanmu sudah mantap, bro."

"Wuih, yang baru nikah. Sudah punya mobil baru saja, ya! Hehe"

Padahal dari foto tersebut, sang pengunggah ingin menjelaskan bahwa ia sedang makan di tempat yang baru, sekaligus promosi.

Netizen yang berteman dengannya malah menabung berbagai praduga. Sang pengunggah foto tadi dikira pinjam bank, lah! Diberi mobil oleh mertuanya, lah! Ada main-main dengan pekerjaan, lah! Dan sebagainya.

Hebatnya, sebagian pecinta dunia maya sekarang lebih profesional dan "kreatif". Mereka tak mau menyerbu postingan seseorang untuk mengkritik dengan praduga, melainkan membuat postingan baru di akunnya dengan nada-nada sindiran.

"Eh, aku sempat bingung walau sekejap. Kok bisa ya, baru kerja sudah beli mobil baru? Eh, mungkin SK-nya sudah disekolahkan. Uppss"

"Gegara postingan di Facebook yang barusan aku like, rasanya aku semakin ingin punya mertua yang kaya, deh!"

Kurang kerjaan sebenarnya. Meski begitu, agaknya kemunculan praduga dan sindiran negatif ini merupakan buah dari pamer dan keirian. Namun, keirian ini lebih kreatif karena si pengiri lebih "profesional" dalam melampiaskan ketidaksukaannya.

Coba saja jika sebelumnya ia malah mengumbar komentar iri langsung di postingan pemilik mobil, maka ia akan jadi sorotan dan malu. Tapi, walaupun ungkapan keirian ini lebih "maskulin dan kreatif", tetap saja ada undangan perang sesudahnya.

Bayangkan jika kemudian sang pengunggah foto dengan mobil baru tadi membaca postingan keirian. Bisa jadi kedua orang ini memulai peperangan di media sosial, bahkan terus berlarut hingga beberapa hari dan menggunakan berbagai media sosial lain. Endingnya?

Bisa edit privasi postingan "Hanya Teman", "Berhenti Mengikuti", dan bisa pula sampai "Blokir Teman". Mengesalkan memang. Sudah kurang kerjaan, kehilangan teman, bermusuhan pula!

Pamer dan Iri, Penyakit Hati yang Mesti Disembuhkan

kompas.com
kompas.com

Dari uraian kisah di atas, sebenarnya baik pelaku pamer maupun netizen yang iri keduanya sama-sama salah dan sakit.

Pengunggah foto di dekat mobil baru bersalah karena secara tidak sadar ia sudah memancing kecemburuan seisi dunia maya. Pengiri juga bersalah, karena ia terlalu sibuk dengan kehidupan orang lain.

Pengunggah foto sudah terserang penyakit pamer karena jika memang niatnya adalah promosi, mengapa malah lebih mengenalkan mobil daripada tempat makannya. Dan, pengiri juga sedang sakit, karena hatinya belum naik level alias naik kelas.

Mengenai sikap pamer, seringkali mudah disamakan dengan sikap bangga. Terang saja, ketika punya sesuatu yang berharga, baru dan tidak semua orang punya maka ada sedikit rasa bangga di hati. Wajar, mungkin usaha yang ditempuh sudah terlalu lelah dan berdarah-darah.

Tapi, nyatanya antara sikap pamer dan bangga keduanya sangatlah tipis perbedaannya. Saat orang pamer, ia ingin menunjukkan kelebihannya di depan orang lain. Dan saat orang bangga, ia merasa punya keunggulan dan mulai berbesar hati.

Pamer cenderung akan mengarah kepada kesombongan, dan bangga juga hampir mendekati sombong.

"Mengapa? Kan aku tidak sombong?"

"Bukannya aku sombong, tapi!"

Dalihnya bangga, tapi dengan pernyataan "Bukannya aku sombong" malah semakin menegaskan bahwa seseorang ingin memoles kesombongannya agar lebih kreatif. Padahal, jika ingin pamer kan bisa taruh mobilnya di pameran.

Dan kemudian? Muncullah keirian yang datang dari orang sebelah. Karena melihat sebuah kesombongan, timbullah sifat dan sikap iri. Bisa jadi karena belum punya, terlalu mencolok, ataupun kesannya terlalu sombong.

Baik pamer dan iri keduanya merupakan penyakit hati yang segera harus singkirkan dari hati. Sifat pamer mesti ditekan pertumbuhannya dengan cara menyadari bahwa sesuatu yang dimiliki hanyalah titipan dan tidak akan dibawa mati.

Selain itu, mengakui bahwa hasil yang didapat hari ini tidaklah semata atas usaha sendiri juga merupakan sikap bijak dalam menata hati. Tambah lagi dengan sering berbagi terhadap sesama, bersahaja, dan terpenting adalah meluruskan niat.

Begitu pula dengan sifat iri, pertumbuhannya mesti ditekan agar tidak jadi benalu di hati. Sakit rasanya jika terus iri dengan kesibukan dan keberhasilan orang lain. Sakit ini juga yang menjadikan seseorang tidak naik kelas hatinya.

Maka dari itu, untuk menjauhkan diri dari sifat iri kita perlu memahami bahwa setiap orang punya kadar rezekinya masing-masing. Tidak bisa dan tidak perlu kita bandingkan apa yang kita dapat dan kita punya dengan apa yang orang lain miliki.

Selain itu, jika orang berhasil dan sedang bersenang ria, mengapa kita tidak memuji? Lebih bijak kiranya menghargai jerih payah orang lain daripada cemburu, iri dan dengki terhadapnya. Toh, lebih melegakan.

Soal kesan yang pamer dan sombong, itu urusan dia. Tak perlu kita ikut cari-cari dalih untuk ikut sombong, atau melemahkan hati dengan iri. Terang saja, pamer dan iri itu berat. Tak usah diangkat, ditenggelamkan saja!

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun