Seberapa sering kita merajuk?
Rasanya, dahulu saat kecil semua dari kita pasti merajuk. Persoalannya sungguh sepele, namun penyelesaiannya juga sederhana dan sikap merajuk hanya singgah untuk sementara. Saat anak tidak dibelikan gula-gula dan ia menangis, tangisannya bisa hilang saat ia dibelikan balon.
Lalu, bagaimana dengan kita dewasa ini? Jika ada salah satu dari kita yang merajuk, apakah masih bisa dihibur dan ditenangkan dengan sebuah balon?
Barangkali, jika yang merajuk itu adalah seorang istri, maka suami tinggal menyelipkan setumpuk uang di bawah bantal. Dan, barangkali jika suami yang merajuk, maka istri tinggal memijat suami, membuatkan suami kopi panas, atau ..... Hehehe
Tapi, bagaimana jika kisah ini tentang rekan kerja yang merajuk, padahal keduanya bernaung di sebuah instansi yang sama?
Yang muda merajuk, bukannya dihibur malah dirajuki balik oleh yang senior. Kira-kira sudah hampir satu tahun saya menemui fakta bahwa keduanya belum pernah berjabat tangan walau hanya sekali.
Beberapa lagi mediasi kepada yang muda, ia tetap kukuh dengan pendiriannya. Ia tetap tidak terima dan merajuk dengan sang senior. Alasannya merajuk mungkin sudah terlalu banyak dan bertumpuk, hingga hatinya tak muat lagi menampung kesal.
Di sisi sebelah, beberapa kali rekan senior bermediasi kepada sang senior yang merajuk, tapi lagi-lagi sang senior juga tetap kukuh pada pendiriannya. Ia berpandangan bahwa dirinya sudah dituakan, dan tidak seharusnya dirinya yang memulai untuk berdamai kepada yang muda.
Benar memang, etika yang selama ini masyarakat kita pelihara sudah seperti itu. Tapi... Serba salah! Soal sikap merajuknya orang dewasa agaknya sangat ribet, rumit dan ruwet.
Bayangkan jika instansi tadi hanya berisikan 10 orang saja. Pasti makin sepi, bukan?