Jelas sudah akhir dari kasus pemukulan yang dilakukan oleh salah satu guru di SMA Negeri 12 Bekasi. Hasilnya, guru yang beberapa hari lalu memukuli siswa yang terlambat akhirnya dipecat.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengaku telah memerintahkan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat untuk memberi sanksi tegas berupa pemecatan kepada guru tersebut.
"Saya sudah perintahkan Dinas Pendidikan dan sudah dilakukan yaitu dipecat sebagai guru dan jabatan disitu akan dilakukan penyelidikan lebih lanjut masuk ranah pidana atau tidak itu sedang diteliti. Tapi per hari ini sesuai perintah saya Kepala Dinas sudah melakukan pemberhentian," ujar Ridwan (14/2/2020).
Berita ini terdengar ngeri-ngeri sedap karena di samping menjadi teguran bagi guru yang selama ini suka memukul, juga jadi garis merah alias batasan-batasan bagi guru untuk bertingkah laku.
Agaknya guru tidak lagi punya hutan lindung sendiri jika dibandingkan dengan tahun-tahun lawas. Terang saja, dulu saat siswa sudah berada di sekolah orangtua tidak bisa lagi ikut mengurusi anaknya. Disiplin atau tidak, anak di sekolah sudah jadi tanggung jawab guru.
Bahkan, sekadar menunggu anaknya belajar di kelas dari depan pintu saja orangtua tidak boleh. Lebih baik orangtuanya pulang, menjalankan rutinitas dan menunggu anaknya di rumah.
Persoalan kena cubit, kena pilin serta kena pukul oleh guru, jika anak lapor kepada orangtua maka biasanya orangtua tambah hukuman itu. Rasanya, orangtua termasuk ibu saya dulu lebih percaya dengan guru daripada anaknya sendiri.
Agaknya, pengalaman-pengalaman lawas inilah yang ikut menjadi alasan kuat Dedi selaku Wakil ketua Komisi IV DPR RI.
Beliau menegaskan bahwa semestinya seorang pemimpin melindungi guru tersebut karena sudah memiliki tujuan baik, yakni demi mendisiplinkan siswa dan membangun karakter siswa.
Lebih lanjut, Dedi juga mengungkapkan cerita lawas saat ia menjadi bupati Purwakarta. Saat itu Dedi pernah menangani kasus seorang guru memberikan hukuman telak kepada siswanya yang sangat nakal.
Kemudian, orangtua siswa nakal ini memintanya untuk memindahkan guru tersebut. Namun Dedi tetap bertahan.
"Saya lebih baik tutup sekolah daripada memindahkan guru. Akhirnya tak ada orangtua siswa yang berani mengancam lagi," kata Dedi kepada Kompas.com via sambungan telepon, Jumat malam (14/2/2020).
Jika hari ini nadanya sama persis seperti yang Dedi ucapkan, rasanya guru ngeri-ngeri sedap menghadapi tugas mulia mencerdaskan anak bangsa.
Terang saja, guru juga punya sedikit rasa takut jika sewaktu-waktu ia dipindahkan ke sekolah pelosok dan terpencil. Selain karena pertimbangan jarak, keluarga dan adaptasi juga menjadi faktor guru tidak terlalu ingin pindah.
Atas pemecatan ini, agaknya ketakutan besar di ranah pendidikan bukan hanya sekadar pemindahan dan pemecatan guru semata. Ada hal lain yang lebih urgen dan ini menyangkut proses penanaman karakter siswa di sekolah. Apa itu?
Ini tentang kepedulian guru di tengah ketatnya hukum perlindungan anak. Kekhawatiran saya, akan ada guru yang terkesan membiarkan jika siswanya nakal. Guru hanya berfokus pada tanggung jawab dan kewajibannya saja, yaitu mengajar.
Berapalah durasi jam mengajar di sekolah, hanya mulai dari pagi sampai siang atau sore hari. Siswa nakal, sekali tegur ia tidak dengar, maka guru abai akan sikapnya.
Lah, guru mau marah dan keras, barangkali siswa nakal tadi sudah terbiasa dimarahi oleh orangtuanya di rumah. Guru mau memukul, khawatir kalau tidak dipenjara ya dipecat. Akhirnya, guru harus mencari hutan lindung yang lain, tempat ia berteduh.
Ngeri Dipecat, Guru Hanya Bisa Berteduh di Hutan Bermerek "Sabar"
Ya, sebagai sosok yang sejati, tampaknya hari ini dan seterusnya guru hanya bisa berteduh di sebuah hutan lindung yang bermerek "sabar". Sabar dalam mengajar, mendidik, memotivasi, dan sabar pula dalam menahan emosi serta menghadapi siswa nakal. Sabar, tanpa batas.
Jika besok atau beberapa bulan kemudian ada lagi kasus seperti yang dialami oleh guru SMA 12 Bekasi ini, agaknya guru itu sudah sampai pada puncak kesabarannya. Ujungnya, kesimpulan yang didapat adalah guru itu mungkin sudah lelah, atau siswanya yang keterlaluan.
Tapi, jangan-jangan siswa hari ini lebih banyak dusta daripada jujurnya hingga sesuatu yang biasa-biasa saja ia anggap keterlaluan?
Tetap saja, apapun tantangannya lagi-lagi seorang guru sejati selalu dituntut untuk sabar. Jika belum sabar, maka tanamkan pohon dan ciptakan hutan lindung bermerek sabar dengan usaha sendiri.
Bahkan, himbauan Gubernur yang mengusulkan untuk memecat guru SMA pelaku pemukulan siswa juga tentang sabar.
"Saya mengimbau kalau sudah punya niat berprofesi sebagai guru harus sabar. Karena anak itu karakternya beda-beda ada yang kuat otak kiri, ada yang otak kanan, ada yang motoriknya lebih aktif ada yang pendiam,"Â ujar Ridwan Kamil pada Jumat (14/2/2020).
Kasus yang terjadi, biar dan sudahlah. Ini pembelajaran yang sangat penting baik bagi pemerintah, sekolah, guru, orangtua dan para siswa.
Namun, yang perlu jadi bahan pertimbangan ke depannya adalah, pemerintah sebaiknya tidak lagi terburu-buru langsung memecat guru, atau memutasinya. Apalagi hanya karena hal sederhana, ketidakenakan dan unsur-unsur politis. Guru juga ingin nyaman dan dilindungi.
Kepada sekolah dan guru, kerjasama dan pengawasan kiranya mesti aktif dan digiatkan. Jangan bosan untuk meluruskan karakter siswa dan menjauhkan mereka dari perundungan, karena sejatinya siswa bukanlah mesin fotocopyan yang bisa menggandakan karakter.
Kepada orangtua dan siswa, keterbukaan dan perhatian akan menjadi hal yang sangat penting hari ini. Siswa yang tertutup kepada orangtuanya patut diduga, jangan-jangan ada masalah yang menyangkut diri dan batin.
Sedangkan orangtua yang kurang perhatian, bisa jadi menjadikan siswanya mencari perhatian kepada orang atau benda lain. Bisa ribut-ribut di sekolah, atau menyandukan diri dengan smartphone.
Mendidik dan membentuk karakter siswa memang berat, karena sejatinya karakter itu tidak bisa dikejar dengan kurikulum. Karakter hanya bisa lengket dengan pengalaman.
Maka dari itulah, untuk menjadikan siswa berkarakter butuh pembiasaan-pembiasaan perilaku dan teladan yang baik. Lagi, karena siswa bukan mesin, tidak perlulah sampai mengamati mereka di kelas menggunakan cctv. Itu malah jadi kotak beban bagi siswa.
Biarkan mereka lebih luwes dan bergeliat dengan pengalaman-pengalaman yang baik. Sekolah yang menciptakan suasananya, guru yang memberikan teladan, siswa yang berusaha membiasakan, dan orangtua yang mengajak siswa mengulanginya di rumah.
Pemerintah? Cukup buat kebijakan yang bijaksana, sesekali datang ke lapangan untuk mengontrol, mengawasi, mengevaluasi hingga memberi saran juga dengan bijaksana.
Sabar itu cahaya. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H