Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dear Guru, Mari Berantas Penyakit dan Virus Mental Block di Sekolah

15 Februari 2020   14:06 Diperbarui: 15 Februari 2020   14:16 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mental Block. (pixabay.com)

Ketika kita melihat jalannya pendidikan hari ini, tampak jelas bahwa masalah paling berat adalah karakter. Sudah lebih dari 5 tahun Indonesia gaungkan pendidikan karakter, namun hari ini malah karakter itu sendiri yang menantang pendidikan.

Terang saja, hari demi hari kita tidak pernah kekurangan orang pintar. Siswa pintar banyak, guru pintar melimpah, pakar pendidikan dan pejabat pemerintah, apa lagi!

Tapi, di sisi sebelah kita malah sangat terkejut, miris, kesal, gundah, dan malu saat melihat beberapa kasus perundungan yang baru saja terjadi di awal tahun 2020 ini.

Tidak hanya karakter siswa yang lumpuh, guru juga ikut-ikutan tertular dengan melanggar kode etik profesinya sendiri.

Dari sini, kita tidak bisa semata menyalahkan guru dan siswa. Tidak juga bisa menyalahkan pendidikan karakter dengan sekelumit sistemnya. Jika keburu disalahkan, jangan-jangan nanti muncul kurikulum baru lagi! Agaknya semakin repot saja.

Agaknya, semua berangkat dari banyak sekali sudut pandang. Kenapa pendidikan karakter sebagai suatu sistem tidak kunjung mendekati kata berhasil? Nyatanya komponen-komponen dalam kurikulum tersebut ada yang beracun dan menjadi virus perusak karakter.

Merdeka Belajar, Merdeka dari Mental Block

Nadiem Makarim. (Kompas.com)
Nadiem Makarim. (Kompas.com)
Munculnya Mas Nadiem ke ranah pendidikan dengan membawa gerbong kereta bermasinis Merdeka Belajar, dipercaya akan mempercepat tercapainya misi pendidikan karakter.

Terang saja, kita semua mesti ingat bahwa salah satu misi terpenting pendidikan karakter adalah untuk menghancurkan mental block.

Para pakar pendidikan mungkin boleh berkoar bahwa beberapa isi Merdeka Belajar terkesan berbelit dan menyusahkan. Kebijakan tentang UN misalnya, untuk mengganti sistem penilaian memang tidak semudah berkedip mata, namun misinya lagi-lagi untuk memerdekakan siswa.

Menghapus ketakutan siswa akan UN, menjauhkan guru dari keruwetan administrasi pembelajaran, agaknya keduanya merupakan bentuk nyata dari misi Merdeka Belajar.

Lebih lengkapnya, Mas Nadiem sampaikan pada forum diskusi "Discussion with Development Partners on Policy Direction and Potential Collaboration", di kantor Kemendikbud, Jakarta, Rabu (12/2/2020) kemarin.

Mas Nadiem mengatakan, pendidikan di Indonesia memiliki konsep Merdeka Belajar untuk menjawab tantangan dunia yang lebih mengedepankan kreativitas, rasa ingin tahu, tahan banting, empati, berpikir kritis, kemampuan menyelesaikan masalah, percaya diri, kerja sama, serta jiwa pembelajar.

"Di era yang serba tidak menentu kita perlu punya kreatifitas untuk bisa beradaptasi. Kita harus ciptakan SDM yang terus belajar dari hari ke hari. Growth mindset individualy," tambah Mas Nadiem.

Tidak bisa tersanggahkan, tantangan dunia hari ini memang menuntut setiap siswa segera merdeka, terutama dari segi mindset "Biarlah" dan "Cukuplah".

Jika kedua kata ini terus bersemayam, bukan tidak mungkin akan banyak siswa yang terkena penyakit mental block stadium "tidak mau" alias susah untuk diobati.

Terang saja, jika sudah punya pikiran "tidak mau", sepertinya pemikiran ini semakin mempertegas pengertian dari mental block itu sendiri.

Mental block* yaitu cara berpikir dan perasaan yang terhalangi oleh ilusi-ilusi yang sebenarnya, hingga membuat seseorang terhambat untuk melangkah menuju kesuksesan.

Karena kesuksesan negara kita di masa depan bergantung kepada para anak muda yang bersekolah hari ini, kiranya perlu diberantas hal-hal yang akan melahirkan penyakit mental bernama mental block ini.

Kasus perundungan siswa dan siswi, perkelahian guru, pemukulan siswa, hal-hal ini mesti segera ditindaklanjuti dengan pencegahan agar nanti siswa seisi sekolah tidak terkena penyakit mental block.

Terang saja, setiap kasus negatif yang terjadi di sekolah, dan itu menyentuh batin siswa baik secara langsung maupun tidak, perlahan akan melahirkan 5 penyakit mental block seperti:

  • Bad self-image (Citra diri buruk)
  • Bad experience (Pengalaman buruk)
  • Bad environment (Lingkungan buruk)
  • Bad reference (Rujukan buruk)
  • Bad education (Pendidikan buruk)

Jika lima keburukan ada dan muncul di sekolah, agaknya sekolah mulai berada dalam posisi bahaya. Terang saja, situasi sekolah yang awalnya menyenangkan bisa jadi bertukar rasa menjadi menakutkan.

Siswa takut ke sekolah, nanti bisa-bisa dibully temannya. Siswa takut ke sekolah, nanti dipukuli gurunya. Pengalaman ini, walau bukan datang dan dialami oleh siswa sendiri, sedikit banyak akan tetap menjadi rujukan dan citra yang buruk.

Khawatirnya, perlahan di sekolah akan muncul virus-virus mental block seperti mudah menyalahkan, malas, takut, berburuk sangka hingga virus-virus negatif lainnya.

Jika virus-virus ini merajalela, bukan tidak mungkin sifat optimis yang selama ini dipelihara siswa akan berubah menjadi pesimis dan bersikap "biarlah" atau "terserahlah".

Lagi-lagi ini alamat bahaya, karena jika terus dipelihara maka siswa akan terus-menerus dihantui perasaan gagal, terpuruk, dan kehidupan yang tidak maju-maju. Ujung-ujungnya? Sekolah dilaksanakan dengan setengah hati, sedangkan setengah lainnya berisi ketakutan.

Maka darinya, sebelum penyakit mental block ini menular dan singgah ke seluruh diri siswa, sekolah perlu melakukan tindakan pencegahan.

Beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu terus meningkatkan optimisme, sikap positif, antusias kepada kebaikan, serta terbuka baik dari aspek pemikiran, perasaan dan juga tindakan.

Tentu saja peran seorang guru sangat krusial di sini. Guru mesti menanamkan kemauan yang kuat, mengajak siswa membangun diri, dan belajar untuk mengakui keadaan yang sebenarnya alis no tipu-tipu.

Jika kita kembali mengacu pada karakter dan kenyataan guru hari ini, agaknya dilema memang. Di sini guru jadi role model, tapi di sana guru jadi bad model. Di sini guru jadi motivator, tapi di sana guru jadi pemukul dan penganiaya.

Akhirnya kita sama-sama mesti menyadari bahwa di saat ada guru yang baik, ada juga guru yang jahat. Di saat ada guru yang taat, ada juga guru yang ingkar. Di saat ada guru yang berkompeten, ada juga guru yang "setengah jadi".

Ini fenomena, tapi biarlah tidak usah ditiru. Cukup jadikan pembelajaran, evaluasi diri, dan evaluasi kebijakan di hari kemudian.

Terpenting, sejak zaman nabi hinggalah hari ini misi kita tetap sama yaitu menyempurnakan akhlak alias karakter, dan memberantas mental block.

Salam.

*Bacaan: Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, Jakarta: Kencana, 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun