Bagaimanakah rasanya ketika jatuh cinta? Agaknya dunia yang luas ini jadi sempit karena dipenuhi dengan persepsi-persepsi positif tentang sesuatu yang dicintai.
Entah itu cinta kepada seseorang, kepada hewan peliharaan, kepada profesi, hingga cinta kepada diri sendiri semuanya telah mempersilahkan hati untuk bergerak.
Jika itu kekasih, pasti ada yang spesial darinya hingga kita rela memaklumi kekurangannya. Bisa kita lihat dari pasangan-pasangan yang benar saling mencintai dengan setulus hati. Waktu bisa ia korbankan, kesempatan bisa ia kesampingkan, bahkan harga diri bisa ganti hanya untuk menghargai cinta.
Maka dari itulah beberapa kali pernah kita dengar kasus bunuh diri karena tidak direstui menikah, rela mencuri demi bisa menghidupi keluarga yang dicinta, hingga menjual diri hanya demi mendapatkan sesuatu yang dicinta (materi).
Jika persepsi-persepsi ini hanya berangkat dari cinta, maka cinta sendiri tidak akan menyalahkannya secara sepihak. Masing-masing para penikmat cinta pasti mengakui apapun yang ia lakukan adalah bentuk dari pengagungan cinta itu sendiri, biarpun itu salah.
Bahkan, cinta sejati yang diakui tidak jarang menyalahi dan melangkahi agama. Karena terlalu fanatik dan nafsu dengan cinta, rela memutuskan batas-batas agama dan norma yang berlaku. Akhirnya? Muncullah tindak asusila, perjuangan cinta yang salah dengan tema jihad, teroris, dan sejenisnya.
Kemudian, jika itu cinta terhadap hewan peliharaan, pasti ada sesuatu yang indah hingga kita rela lebih menyayangi satu daripada semuanya.
Di satu sisi, hewan tadi pasti akan merasa begitu dimanja, disayangi, dicintai, dan diperhatikan secara khusus. Bila ada hewan lain atau orang lain yang mengusik, maka sosok yang mencintai akan sebegitunya melindungi.
Kok, sebegitunya? Terang saja, jika terlalu cinta kadang fanatiknya berlebihan dan menjurus kepada tindakan yang terlalu sayang. Contohnya? Lihat saja sebagian penyayang kucing rumahan yang tega membuang kucing liar, melempar kucing liar, bahkan menghardik kucing liar. Katanya sayang binatang, sayang kucing. Tapi? Terbutakan oleh cintanya sendiri.
Hal-hal seperti ini juga tidak terlalu berbeda dengan kecintaan terhadap profesi. Setiap profesi, pasti ada sesuatu yang melekat dan menyenangkan hingga kita lebih rela meninggalkan pekerjaan lain walau dengan nilai materi lebih tinggi sekalipun.
Menjadi guru misalnya. Jika seorang guru mencintai profesinya maka ia beberapa kali akan rela lembur kerja, rela datang dan pulang mengajar tepat waktu, hingga rela memberikan hadiah agar siswanya lebih semangat dan terbantukan dalam bersekolah.
Sebaliknya, jika kurang mencintai profesi maka mulailah sering terdengar si A sering telat datang, si B tidak mau disuruh lembur, si C tidak peduli dengan siswanya, dan lain sebagainya.
Bahkan, jika mencintai profesi secara keterlaluan juga salah. Tidak heran, muncul yang namanya perbedaan derajat, menggunakan berbagai cara untuk mencapai kedudukan tertinggi dalam pekerjaan, hingga menganggap pekerjaan lain tidak lebih baik daripada profesinya.
Hal-hal seperti ini merupakan kecintaan yang salah, sehingga menghasilkan gerakan yang salah pula.
Periksa Penggerak Cintamu
Kenapa ada seseorang yang memiliki cinta namun bersalah? Dugaan awal, agaknya ada yang salah dari hati mereka. Padahal, baik hati atau cinta keduanya tiada yang salah. Yang salah itu, mereka yang menggerakan hati dan cinta.
Di setiap perbuatan yang baik dan dilakukan karena cinta yang kuat, pasti ada sikap mempertahankan, rela mengorbankan, rela memperjuangkan dan tidak mau mendengar apa kata orang yang tidak sesuai dengan jalan cintanya.
Tapi, agaknya setiap perbuatan yang buruk begitu juga. Hanya saja, kali ini kerelaannya didasarkan kepada hal-hal yang buruk.
Ada perjuangan di sana, ada pengorbanan di sana, ada apatis di sana, tapi semuanya menjadi pembuktian bahwa hati dan cinta telah kotor dan teracuni. Karena sudah kotor dan beracun, tertularlah kepada mereka yang menggerakkan cinta dan hati itu.
Padahal, hati itu selalu memberikan solusi yang baik dan murni didasarkan atas kebaikan dan ketulusan. Hanya saja, sebelum diungkapkan menjadi perbuatan seringkali terjadi perdebatan antara pikiran, perasaan dan nafsu. Ketiganya mesti bersatu, jika memang cinta itu ingin dijadikan sejati.
Lalu, bagaimana menggerakkannya?
Hal ini bisa dicek dari diri sendiri, terutama di saat kita mendapat suatu kebaikan. Pasti ada syukur dan kebanggan yang tinggi hingga kita bisa memaklumi kekurangan diri dan lupa untuk membandingkannya dengan orang lain.
Semua ini adalah perihal cinta yang telah menggerakkan hati, menggerakkan sanubari untuk lebih fokus dan berpikir positif. Fokus dan positif menyempit, sehingga menjadikan sikap dan perilaku yang dilakukan, hanyalah untuk meningkatkan kecintaan. Cinta yang tulus.
Jika digerakkan dengan ketulusan, maka itu yang benar. Jika digerakkan oleh nafsu, maka bisa benar dan bisa salah. Nafsu meski memiliki batasan yang bernama sabar dan syukur.
Jika tidak sabar, cinta seseorang bisa jadi hambar. Jika tidak syukur, cinta seseorang bisa jadi kufur.
Ini berlaku untuk segala jenis cinta. Cinta yang benar tidak akan mencelakakan, karena mereka akan mendamaikan. Cinta yang benar tidak akan saling membenci perbedaan, karena mereka akan berusaha menjadi sosok yang toleran.
Dan terakhir, mengapa cinta ini harus benar? Sederhana saja. Diri kita perlu dicintai, lingkungan kita perlu dicintai, profesi kita perlu dicintai, dan semua yang ada disekitar kita perlu dicintai. Jangan dikurangi, jangan dimusuhi, karena cinta yang benar pasti memaklumi.
Salam Cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H