Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sebaiknya, Guru Jangan "Main Hati" di Kelas

9 Februari 2020   21:25 Diperbarui: 9 Februari 2020   21:24 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada pertanyaan tentang siapakah orang yang paling dinanti siswa di kelas, maka jawabannya adalah guru. Terlepas dari garang atau tidaknya, dari senior atau mudanya, bahkan dari enak atau tidaknya pelajaran, guru tetap jadi penantian.

Terang saja, biar bagaimanapun nakalnya siswa di sekolah, kadang-kadang mereka juga pernah dihampiri angin semilir yang bernama kesadaran. Sadar kalau tadi di kelas ia terlalu over nakalnya, sadar kalau tadi di kelas ia lupa buat tugas, hingga sadar kalau tadi ia tidak fokus dalam belajar.

Kesadaran itu cepat atau lambat pasti muncul. Walaupun hanya 1 menit, siswa akan terdiam malu dan menunjukkan wajah sendu pertanda sesal dan minta maaf. Lalu, di menit berikutnya? Ya, ribut lagi... Hahaha

Sebaliknya, guru juga demikian. Kadang-kadang setelah marah-marah di kelas, guru juga dihinggapi angin semilir yang bernama pengakuan hati. Mengaku kalau tadi ia kurang sehat, kurang bersemangat, kurang variasi metode mengajar, hingga kurang fokus dalam mengajar.

Namun, di balik semua itu ada pula beberapa guru yang marahnya hanya kepada siswa yang itu-itu saja. Sayangnya hanya kepada siswa itu-itu saja. Perhatiannya, kasih sayangnya, sampel dalam pembelajarannya, hinggalah lawan komunikasi utamanya. Serasa ingin disimpulkan bahwa guru itu "main hati".

Tidak heran, ini mengakibatkan kecemburuan yang level pro di kalangan siswa.

"Kenapa sih, harus dia terus yang dikisahkan dan dimisalkan oleh ibu guru!"

Jikalau tingkatan siswanya adalah SMP dan SMA, agaknya rasa cemburu ini akan mereka pendam dalam-dalam --meskipun lebih sakit, sih- tapi jika siswanya masih SD maka mereka akan terang-terangan mengungkapkan perasaan cemburunya.

Dari sini, agaknya guru perlu memahami hal-hal sederhana di kelas agar mereka tidak terkesan main hati oleh siswa.

Jangan Memandang Siswa dari Sudut Harta

Tidak tersanggahkan, salah satu hal yang guru senangi ketika mereka mengajar di kelas adalah menerima oleh-oleh dari siswa. Saat guru tahu ada siswa yang mau bepergian ke luar kota, mulailah menitip agar dibelikan oleh-oleh.

Kesannya hanya goyun sih, tapi yang namanya siswa sudah barang tentu memiliki sikap segan dan kurang enak hati. Minimal ia akan membelikan mainan kunci kepada gurunya. Tapi jika siswa tadi kaya, bisa jadi ia belikan barang yang lebih mahal lagi.

Sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Namun, beberapa guru kadang terlalu berlebihan menanggapi pemberian siswa hinggalah siswa tadi ia puji berlebihan, ia pamerkan berlebihan, bahkan ia perhatikan dengan berlebihan.

Gara-gara inilah siswa lain merasa terkucilkan karena tidak bisa memberikan sesuatu hal yang lebih kepada gurunya. Padahal, kecemburuan ini berawal dari sikap main hati guru terhadap salah satu siswa yang memiliki harta lebih.

Untuk itulah, sebaiknya guru tidak memandang siswa hanya dari sudut harta. Ada siswa yang orangtuanya kaya, sederhana, dan kekurangan. Masing-masing dari mereka punya hak dan kewajiban yang sama untuk diperhatikan, diajarkan, dididik, disayang dan dicinta.

Jangan Memandang Siswa dari Sudut Kedekatan Hubungan

Saat dahulu menjadi siswa, pernahkah Anda merasa tidak dikenali guru hinggalah beberapa tahun? Agaknya ini cukup menyakitkan, ya!

Apalagi jika setiap hari siswa selalu mendengarkan ocehan guru tentang siswa A yang merupakan tetangga dekat, siswa X yang merupakan saudara jauh, hingga siswa Z yang merupakan anak dari Ibu kos.

Dunia di kelas serasa hanya punya siswa A, X dan Z saja. Bagaimana tidak, jika guru sudah bercerita tentang kedekatan hubungan maka topiknya akan merambah ke mana-mana. Bisa lebih luas dari samudera, dan bisa lebih lama dari durasi eram telur hinggalah ia menetas.

Ini alamat bahaya karena siswa lain akan merasa terasingkan dan tidak mau dikenal. Sayang sekali memang. Meskipun menghafal setiap nama siswa bukanlah tugas guru, minimal ada kesan-kesan keakraban yang ia buktikan dengan menegur siswa, walaupun bukan dengan nama aslinya.

Sejatinya, ini adalah bagian dari profesionalisme guru yaitu tidak main hati alias tidak memilah-milah mereka dari segi kedekatan hubungan. Baik itu adik, anak sendiri, anak tetangga, anak ibu kos, bahkan anak kepala sekolah semuanya sama saja. Sama-sama siswa.

Jangan Memandang Siswa dari Sudut Tinggi-Rendahnya Kemampuan

Ada siswa yang dianggap pintar, biasa-biasa saja, dan lemah dalam hal fokus belajar. Setiap kelas pasti memiliki ini, kecuali kelas private yang berisi 1 orang. Hohoho

Jika guru hanya sayang dan perhatian kepada siswa pintar, maka itulah namanya main hati. Jika siswa hanya sayang dan perhatian kepada siswa yang lemah, maka itu juga namanya main hati. Lalu, siswa yang biasa-biasa saja bagaimana?

Baca Pula: Anak Pintar dan Lemah Diperhatikan, Kalau yang "Biasa Saja"?

Siswa yang pintar, jika terus mendapat perhatian utama bisa jadi tambah pintar dan merasa terhebatkan. Siswa yang lemah, jika terus mendapat perhatian utama bisa jadi tambah riang dan menebarkan keributan. Siswa yang biasa-biasa saja juga mau diperhatikan.

Oleh sebab itulah, sebagai sosok yang tidak main hati guru sebaiknya tidak memandang siswa dari sudut tinggi-rendahnya kemampuan. Bukannya ingin menyama-ratakan kemampuan, melainkan ingin membagi kadar perhatian yang pas.

Beri Siswa Kesempatan yang Sama

Dalam pembelajaran di kelas, pasti ada siswa yang menonjol. Misalnya saat guru meminta tanggapan atau kesan, minimal ada satu siswa yang selalu unjuk tangan duluan. Ia ingin maju duluan karena memiliki keberanian tingkat pro, terlepas itu benar atau salah.

Sebenarnya, ini alamat baik. Apalagi jika siswa yang unjuk tangan tadi jawabannya langsung benar dan komplit, maka hampir selesailah pelajaran itu. Tapi, bukankah jadi tidak seru?

Pembelajaran jadi tidak seru karena sudah pasti siswa itu akan unjuk tangan duluan, jawab benar duluan, dan dapat bintang alias reward duluan. Kesan kemudian adalah, guru tadi jadi sosok pengajar yang main hati. Hmm

Karena guru tahu betul dengan tingkat kemampuan siswanya yang beragam itu, bijak kiranya jika guru memberikan kesempatan kepada siswa lain secara bergantian.

Terang saja, tidak semua siswa bisa selalu fokus dan mengerti makna pelajaran hingganya memanfaatkan siswa yang seperti ini bisa membuat pelajaran lebih menarik dan berkesan.

Nantinya akan ada jawaban-jawaban tidak biasa (out the box) dari siswa yang jika gurunya pandai, maka bisa memanfaatkan semua jawaban tadi jadi kesimpulan yang mantap. Dan, tanpa perlu menyalahkan secara langsung atau sepihak terhadap siswa yang kurang mengerti tadi.

Kiranya, semua sikap-sikap tidak main hati ini merupakan perwujudan mendalam dari kebijakan Mas Nadiem yang bernama Merdeka Belajar. Siswa diberikan kesempatan yang sama, perhatian yang sama, sudut pandang yang sama walaupun dari hal-hal yang tampaknya sepele dan kecil.

Karena sejatinya, hal-hal sepele nan kecil inilah yang perlu lebih dahulu diubah agar nanti terwujud pendidikan yang hebat dan unggul.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun